Senin, 26 September 2011

Especially for You :)

Especially for you
I wanna let you know what I was
Going through
All the time we were apart I thought
Of you
You were in my heart
My love never changed
I still feel the same


Especially for you
I wanna tell you I was feeling that
Way too
And if dreams were wings, you
Know
I would have flown to you
To be where you are
No matter how far
And now that Iím next to you

No more dreaming about
Tomorrow
Forget the loneliness and the sorrow
Iíve got to say
Itís all because of you

And now were back together,
Together
I wanna show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you


Especially for you
I wanna tell you, you mean all the world to me
How Iím certain that our love was
Meant to be
You changed my life
You showed me the way
And now that Iím next to you

Iíve waited long enough to find you
I wanna put all the hurt behind you
And I wanna bring out all the love
Inside you, oh and
Now were back together, together
I wanna show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you

You were in my heart
My love never changed
And now that Iím next to you
No more dreaming about
Tomorrow
Forget the loneliness and the
Sorrow
Iíve got to say
Itís all because of you

And Now were back together, together
I wanna show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you

Together, together
I wanna show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you


by: M.Y.M.P


One Care for Friend (OREN)


Sungguh, tak ada alasan yang pasti dan kuat yang memampukanku untuk memilih berpartisipasi dalam kegiatan OREN (One Care for Friends) 2011. Yang ada justru alasan untuk tidak mengikutinya, mulai dari faktor keuangan, tugas dan kegiatan yang seolah terus beranak-pinak, hingga keluarga. Hanya karena ajakan dan dorongan dari seseoranglah, aku mulai memilih dan meyakini bahwa langkahku ini benar. Kelak aku akan merasa amat sangat menyesal dan kecewa jika aku terus menerus bertahan pada keeogisanku dengan menolak rayuannya, tanpa ada jaminan pasti tentang kesuksesan tanggung jawabku.

Ada banyak gejolak dalam diri yang mewarnai langkah-langkah awalku berinteraksi dengan anak-anak jalanan kota Semarang, fokus OREN tahun ini. Namun apapun itu, dengan hadir di sana, aku siap melaksanakan tanggung jawab dan bersedia berproses bersama anak jalanan, karena ia telah memilih. Ya, kepentingan diri dan egoisme benar-benar harus ditinggalkan, meski tak berarti dilupakan.

Mengenal Anak Jalanan
Sebelum benar-benar berinteraksi dengan anak jalanan, aku sudah memiliki beberapa pandangan dan pengetahuan –entah benar atau salah- tentang mereka. Anak jalanan adalah anak yang tinggal dan hidup di dan dari jalanan. Mereka menggantungkan kelangsungan hidupnya pada kedermawanan para pengguna jalan. Umumnya, hal itu mereka lakukan dengan mengamen, berjualan koran, mengemis, menjadi tukang parkir, tukang semir sepatu, tukang bersih kaca mobil, dsb. 80% di antaranya hidup di jalanan sebagai akibat ketidakharmonisan keluarga yang dialaminya. Dengan kata lain, ia melarikan diri dari rumah dan melanjutkan petualangan hidupnya di jalanan. Sedangkan 20% sisanya hidup di jalanan karena masalah ekonomi yang melilit keluarganya.

Secara teori, anak-anak jalanan sangat rentan terhadap hal-hal negatif yang berpotensi terjadi pada mereka. Sebut saja tindak kekerasan, eksploitasi seksual, tindak kriminal, berkenalan dengan narkotika, sakit (HIV-Aids, dsb), hingga mentalitas miskin. Hal-hal tersebut jelas memberikan ancaman yang teramat besar, terutama bagi hidup mereka di masa depan. Mengingat harapan hidup anak jalanan yang amat memprihatinkan, mimpi buruk akan hilangnya sebuah generasi gemilang anak negeri sudah di depan mata. Seburuk itukah keadaannya? Eit, nanti dulu..

Teori yang sudah teruji memang menjadi dasar acuan kita dalam memahami suatu hal. Akan tetapi, di luar sana akan selalu ada anomala, selalu ada kasus yang membutuhkan penanganan-penanganan tertentu, yang kerap kali tidak ada dalam teori. Dalam hal ini, apa yang kualami adalah hal yang berbeda dengan teori di atas.

Keadaan anak-anak jalanan yang kujumpai sebenarnya memang tidak jauh berbeda. Kegiatan mereka sehari-hari umumnya adalah mengamen, bermain-main di jalan, beberapa sekolah, beberapa lagi bekerja, kadang bahkan berlatih untuk job, yang tak jarang berasal dari luar kota. Rata-rata dari mereka berpendidikan SD, atau SMP maksimal, beberapa bahkan tidak sekolah. Mereka juga bungkam ketika ditanya tentang keluarga. Rupanya itu adalah masalah yang cukup sensitif, dan diduga karena masalah ketidakharmonisan dalam keluarganya.

Hidup di jalanan bagi mereka bukanlah sesuatu yang perlu selalu disesali, terkadang bahkan disyukuri. Dari sanalah mereka bisa menyambung hidup, berbagi bersama, dan menemukan sahabat. Meski demikian tak jarang mereka menderita karena resiko-resiko kekerasan yang selalu ada, panas terik matahari, hingga ketakutan tiada henti terhadap satpol pp.

Kehidupan anak jalanan, meski sepintas terlihat keras dan kejam, sebenarnya juga tak jauh berbeda dengan orang lain. Dalam beberapa hal, mereka justru dapat dikatakan lebih beruntung, terlebih jika dilihat dari perspektif yang berbeda. Hidup mereka lebih bebas dan lepas, seolah tanpa beban dan mementingkan kesenangan hidup (hedonis). Dalam beberapa kasus, penampilan yang nyentrik justru membuat mereka semakin bangga, karena itulah bentuk eksistensinya sebagai manusia, citra dirinya.

Mau (?)
Merasa mengenal sebagian kecil dari diri anak-anak jalanan, sebagian orang mungkin merasa enggan berinteraksi dengan mereka. Namun ada orang-orang yang dengan rendah hati mau menjadi bagian dari hidup mereka dengan melakukan sesuatu yang berguna bagi kelangsungan maupun masa depannya. Pertanyaannya, mengapa?

Adalah sebuah teori bernama “altruisme” yang berarti tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain . Alasan orang bisa sampai beranggapan seperti itu hingga akhirnya memunculkan perilaku menolong antara lain:
1. Teori Pertukaran Sosial, mengungkapkan bahwa apa yang kita lakukan harus menguntungkan, atau setidaknya memiliki hubungan timbal balik di antara kedua pihak.
2. Teori Empati, merupakan gabungan dari egoisme dan simpati. Empati adalah ikut merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaannya sendiri. Ada juga empati yang melanggar prinsip norma/keadilan, jika perbuatan menolong orang sampai mengorbankan kepentingan orang lain.
3. Teori Norma Sosial, di antaranya norma tanggung jawab sosial, yang mewajibkan menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan apapun. Dalam memberi pertolongan, seseorang juga dipengaruhi atribusi pada orang yang bersangkutan.
Dari sekian banyak teori tentang menolong, teori-teori itulah yang menurutku memampukan seseorang untuk rela berkecimpung dan mencurahkan hidupnya untuk dan bersama anak-anak jalanan.

Menjalin Persahabatan
Pengalaman berinteraksi dengan anak-anak jalanan nyata-nyata justru telah membuatku melupakan sejenak segenap tantangan dan cobaan (baca: masalah) yang kian menumpuk. Hal ini kemudian membuatku menjadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang sedang membantu dan sedang dibantu? Aku? Atau mereka? Selama ini aku mungkin hanya bisa mengeluh dan berharap semuanya (masalah, red) cepat berlalu, tanpa sempat menikmati indahnya duniaku. Mereka justru sebaliknya, amat menikmati dalam menjalani hidup yang bagiku mungkin apa adanya, tapi segalanya bagi mereka.

Demikian juga dengan mereka, yang mengaku belajar banyak dari interaksi yang terjadi di antara kami. Dari interaksi ini, aku sedikit banyak mengetahui apa yang menjadi kendala utama dalam kehidupan mereka: buruknya manajemen waktu dan uang, masalah ketergantungan yang relatif besar, dan yang pasti adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang. Lalu, kita bisa apa?

Terlalu jauh dan idealis jika aku terus memikirkan tentang nasib mereka, bagaimana mereka hidup, bersekolah mungkin, dsb. Tak bisakah aku membantu mereka, terutama sebagai mahasiswa fakultas Psikologi? Bisa! Aku bahkan bisa membantu mereka mulai dari sekarang, mulai dari yang sederhana, dan mulai dari diri sendiri. Pada dasarnya mereka butuh teman, butuh sahabat, yang akan selalu ada kapanpun mereka butuhkan. Ya, mereka butuh didampingi. Selain itu, harapan yang mereka miliki terlalu dangkal dan tidak jauh-jauh dari keadaan mereka sekarang. Sahabat juga bisa berperan sebagai motivator sekaligus inspirator, terutama dalam membangun mimpi tentang masa depan.

Akhirnya, perjumpaan dengan anak-anak jalanan membuatku semakin menyuskuri hidup. Di sisi lain, mereka telah mengajariku banyak hal berkaitan dengan menghadapi banyak masalah. Sebaliknya, aku juga berharap perjumpaan ini juga berarti bagi mereka. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian. Masih ada banyak orang yang peduli dan bersedia menjadi sahabat, menjadi “tempat sampah” mereka. Dan hubungan timbal

balik inilah yang memampukan kami, bahkan kita semua untuk bisa berkembang menjadi lebih baik lagi. Terima kasih, sahabat…

Balada Seksi Perlengkapan



“Perkap! Perkap! Tolong pataka ini sama tiang-tiangnya dibawa ke fakultas yaa… segera!”

Bergabung dalam kepanitiaan besar semodel Psychobate tak pernah kubayangkan sebelumnya. Psychobate, lomba debat antar fakultas Psikologi tingkat regional Jawa, terlaksana dan terbilang sukses, meski tetap menyimpan beberapa catatan penting yang harus dibenahi, terutama jika ingin menyelenggarakannya lagi di esok hari. Dalam lomba yang diadakan pada 3-5 Juni 2011 ini, aku bersama dengan tiga rekan lain diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai seksi perlengkapan.

Melamar untuk menjadi seksi acara, aku justru terpilih menjadi sie perkap. Seumur-umur baru kali ini aku menduduki posisi ini dalam sebuah kepanitiaan dan organisasi. Apa itu perkap? Apa pula tugas dan pekerjaannya? Hampir dalam setiap rapat, perkap mendapat kesempatan pertama untuk melaporkan perkembangan dan kondisi terkini dari job description-nya. Aku, yang minim pengalaman di bidang ini, hanya bisa termangu-mangu saat sang koordinator perkap menjawab dengan jawaban “Perkap beres!” atau “Perkap nggak ada masalah. Lanjut terus”. Jawaban yang singkat dan hampir selalu sama dalam setiap kali rapat . Sebaliknya, seksi acara hampir selalu menjadi seksi dengan laporan paling banyak dan lama dalam rapat-rapat Psychobate. Ironi? Mungkin.

Sebenarnya motivasiku untuk mendaftar menjadi panitia Psychobate pada waktu itu tidak terlepas dari euforia lanjut ke semester dua dengan indeks prestasi yang bisa membuat kedua orangtuaku tersenyum. Maklum, di semester satu memang belum banyak kegiatan yang kuikuti. Sebagai seorang remaja yang ingin eksis, didukung oleh teori Abraham Maslow tentang kebutuhan akan aktualisasi diri, motivasiku bergabung ke dalam kepanitiaan ini hanyalah sekedar ingin dikenal dan terlihat aktif. Itu saja. Kalaupun ada, motivasi yang memiliki “derajat yang lebih tinggi” adalah ingin mencari pengalaman dalam berorganisasi. Jawaban yang terbilang umum dan diplomatis.

Dangkalnya motivasi tersebut ternyata menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Dalam proses dinamika bersama itu, setidaknya ada tiga hal yang membebaniku. Pertama, aku tak tahu banyak tentang jobdes perkap. Kedua, sebelum menemui titik cerah, aku menjalani peranku dengan setengah hati, terutama karena ternyata yang kualami di perkap tidak sesuai dengan motivasiku. Ketiga, aku harus siap menghadapi rasa tidak dihargai ketika hanya menjadi backstage part. Ketiga hal tersebut, melengkapi dangkalnya motivasiku, membuatku tertatih-tatih dalam menjalankan tugas-tugas perkap. Duh duh, piyee ikii..?! kesimpulannya, aku lelah. Batinku tertekan oleh diriku sendiri. Setiap kali rapat tak dianggap , kelak hanya menjadi “pesuruh” seluruh seksi, harus usung-usung barang-barang yang dibutuhkan, baik itu menyiapkan maupun membereskan. Belum lagi jika ada suatu cacat, perkap hampir selalu menjadi kambing hitam dan dikatakan kurang cakcek. Akhirnya aku sampai pada pikiran untuk mengundurkan diri dari kepanitaan ini.

Saat itu, sekitar sebulan sebelum acara berlangsung, berlangsung rapat rutin seperti biasanya. Aku yang (masih) hanya bisa termenung, tiba-tiba teringat sebuah cerita dari seorang staff SMA-ku dulu. Seseorang membunuh kawannya sendiri dengan cara menusukkan pisau ke tubuh orang itu. Kalau begini, siapa yang pantas disalahkan? Orang itu? Ataukah pisaunya? Kedengarannya memang agak aneh, kalau tak disebut lucu. Bagaimanapun juga, yang bersalah dan bertanggung jawab pasti adalah orangnya, meskipun penyebab kematian orang tersebut adalah pisaunya. Lalu?

Jika aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepanitiaan ini, aku secara resmi menyalahkan pisaunya. Pisau itulah yang harus dihukum dan dipenjara! Padahal pisau itu tak bersalah. Yang bersalah adalah orangnya: aku. Aku membunuh diriku sendiri dengan motivasi yang dangkal, dan menyalahkan panitia sebagai biang keladinya. Tepat di saat inilah aku menemukan titik cerah. This is my point of no return. Ya, di titik ini aku telah memutuskan, dan tak bisa kembali lagi. Pilihannya hanya dua: menjadi pemenang atau menjadi pecundang.

Menyerah dan mengundurkan diri, itulah pecundang. Terus berjuang, bertahan dalam segala tekanan, itulah pemenang. Aku bangkit dan belajar untuk tetap setia dengan tugas-tugasku sebagai sie perkap. Motivasiku diperdalam dengan timbulnya ketulusan untuk melayani dengan segenap kerendahan hati disertai kesetiaan untuk mengerjakan tugas-tugas sepele. Dengan semangat dasar sesederhana namun secanggih itu, aku bangun untuk kemudian berlari dan mencetak prestasi. Ya, aku telah menjadi anggota perkap yang “baru”.

Pilihanku membuahkan hasil. Kelak selain terlaksananya tugas dengan baik, hal yang lebih kusyukuri adalah daya ubah sie perkap yang ternyata sangat dahsyat bagi perkembangan diriku. Daya ubah yang menghasilkan daya juang yang luar biasa itu muncul ketika aku menghayati tugas-tugas “kasar dan remeh” dengan sepenuh hati. Ketika disuruh mengambil ini-itu oleh seksi lain, aku belajar tentang prinsip kerendahan hati. Ketika harus berlelah-lelah mengangkat pataka, ampli, keyboard, berlari mengambil gitar, menjadi “stand microphone” dadakan, dan barang-barang lain yang umumnya lebih berat dari berat badanku, aku belajar tentang prinsip kerja keras. Ketika tak mendapatkan sedikitpun ucapan terima kasih dari panitia lain, hatiku terisi oleh prinsip kesabaran. Intinya, begitu banyak hal yang kudapatkan dari tugas “kasar” nan sepele ini. Namun semuanya bermuara pada satu hal, yaitu ketulusan untuk melayani.

Alih-alih mengalami degradasi, aku justru bertransformasi menjadi pribadi yang lebih baik lewat dinamika bersama panitia ini. Ketika orang mau melayani, maka ia akan diubah lewat pelayanannya itu. Dan ketahuilah, kesetiaan untuk menjalani tugas-tugas remeh itulah yang akan mengubah hidup.

Aku bersyukur bahwa aku boleh mengalami dinamika bersama panitia Psychobate yang luar biasa dahsyat. Tulisan ini kudedikasikan untuk segenap rekan-rekan panitia Psychobate yang mau melayani sesama dengan segenap rendah hati, yang secara menakjubkan dan gagah berani, berhasil menyenggarakan ajang terbesar sepanjang sejarah fakultas Psikologi Unika Soegijapranata. Keberhasilan yang besar muncul dari hal-hal sepele yang menjadi dasarnya.
Last but not least, do small things with great love!


Balada Seksi Perlengkapan
Ditulis Sebagai Pemenuhan Tugas Psikologi Industri dan Organisasi






Ditulis oleh:
Conrad Ekaristianto
10.40.0071

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2011

Selasa, 02 Maret 2010

Konflik --> Lokal, Nasional, Internasional

Konflik Lokal:
1. Kilas Peristiwa
Bidang :
a. sosial: adanya diskriminasi agama terhadap agama katolik. Ini terjadi sudah sejak dahulu, di mana katolik dan islam itu berperang (perang salib). Masyarakat islam secara de facto ialah kaum mayoritas di Negara Indonesia, sehingga ingin membuat Indonesia sebagai Negara Islam. Maka dari itu ada kaum-kaum islam yang tidak setuju adanya pembangunan gua Maria di tempat itu.
2. Sifatnya
3. Sebabnya :
a. kecemburuan social
b. ketakutan umat islam karena dengan pembuatan gua maria penyebaran agama katolik akan semakin pesat
c. fanatisme berlebihan suatu agama

4. Akibatnya : Pembangunan Gua Maria itu menjadi terhambat untuk sementara, namun dalam perkembangannya dapat berjalan kembali, walaupun tidak begitu lancar.
5. Solusinya:
.

:
1. Kilasan Peristiwa
Pertengahan Mei 1998, Indonesia digemparkan oleh kerusuhan massal yang terjadi serempak di berbagai kota di Indonesia. Tak kurang dari 1200 orang tewas mengenaskan, puluhan hilang, dan ribuan lainnya luka-luka. Beberapa hari setelah kerusuhan, gedung DPR/MPR jatuh ke tangan rakyat. Saat itu, puluhan ribu masyarakat, yang sebagian besar adalah mahasiswa, menguasai gedung DPR/MPR hingga tiga hari untuk menuntut Soeharto supaya mengundurkan diri. Peristiwa itulah yang akhirnya memaksa Presiden Soeharto untuk melepaskan tampuk kekuasaan pada 21 Mei 1998.
2. Bidang :
a. Politik :adanya konspirasi politik untuk menjatuhkan Soeharto beserta perdebatan siapa yang menggantikannya.
b. Ekonomi :semakin tidak tahannya masyarakat akan harga barang dan inflasi yang melambung tinggi akibat krisis moneter setahun sebelumnya. Masyarakat menilai pemerintahan Soeharto sudah tak mampu mengatasi keadaan.
c. Sosial :adanya diskriminasi ras terhadap etnis Tionghoa. Ini terjadi sejak ricuhnya pedagang-pedagang Cina dengan SDI (Sarekat Dagang Islam), namun pemerintah selama ini berhasil meredamnya. Masyarakat “cemburu” pada etnis Tionghoa yang sukses dan menjadi anak emas pemerintah selama ini. Dalam peristiwa ini, etnis Tionghoa menjadi korban mayoritas di mana terjadi kekerasan seksual (pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan seksual, dsb), pembunuhan, dan pembakaran rumah/tempat usaha mereka.
3. Sifat :kolektif dengan kekerasan. Konflik dilakukan oleh massa dengan jangkauan yang sangat luas, yang mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Konflik dilakukan dengan menggunakan kekerasan dan aksi-aksi anarkis berupa: pengrusakan, pembakaran, penyiksaan, penganiayaan, pemerkosaan, penculikan, hingga pembunuhan.
4. Sebab :
a. Kecemburuan sosial yang memuncak.
b. Krisis ekonomi yang semakin memburuk.
c. Instabilitas politik dan keamanan Negara.
Pemicu : Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak setelah seharian penuh melakukan aksi damai.
5. Akibat :
a. Adanya kerusakan, kerugian, dan korban terbesar sepanjang sejarah negeri ini.
b. Berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang berarti tumbangnya Rezim Orde Baru.
c. Indonesia memasuki jaman baru: Orde Reformasi
6. Solusi : tindakan pengamanan oleh aparat keamanan, yang terbilang sangat terlambat untuk bisa mengatasi terjadinya konflik berupa kerusuhan tersebut.

Konflik Internasional
1. Kilasan Peristiwa
Amerika Serikat sebagai Negara Adidaya di muka bumi ternyata masih mengalami konflik semacam rasialisme. Sudah sejak lama Negara itu dihuni oleh orang berkulit hitam dan orang berkulit putih. Bukti nyata nan besar adalah sewotnya sebagian besar warga AS ketika Barack Obama terpilih sebagai Presiden kulit hitam pertama di negeri itu.
2. Pelaku: kebanyakan adalah warga kulit putih, sebagai warga Negara yang memiliki pengaruh terbesar di negeri itu.
3. Bidang: Rasialisme: walaupun sudah “tak jaman” untuk mempermasalahkan perbedaan ras, hingga kini diskriminasi ras tetap saja terjadi.
4. Sifat: Individual: Meskipun terjadi di ruang lingkup yang luas, namun konflik yang terjadi biasanya lebih mengarah ke perseorangan atau gank yang mengatasnamakan ras masing-masing.
5. Sebab: Orang kulit putih sudah sejak lama menganggap bahwa mereka memiliki derajat lebih tinggi atas orang kulit hitam, yang notabene adalah warga asli Amerika. Mereka juga menganggap bahwa merekalah yang pantas menempati wilayah tersebut.
6. Akibat: Terjadi diskriminasi di mana korban lebih banyak terjadi pada orang kulit hitam. Orang kulit hitam juga menjadi tidak sebebas orang kulit putih dalam melakukan hal apapun di negeri itu, karena yang berkuasa adalah orang kulit putih.
7. Solusi: Dibutuhkan kesadaran yang tinggi pada orang-orang kulit putih, bahwa mereka juga sederajat dengan orang kulit hitam. Kesadaran ini sudah nampak mulai terjadi di AS, yang terbukti dengan terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden AS berkulit hitam pertama.


Tim Penyusun:
Albertus D.A (XI IPS/01)
Conrad E. (XI IPS/06)
F. Rendy A. (XI IPS/ )
L. Dadag Y. (XI IPS/ )
Y. Aditya S. (XI IPS/ )

Siapa yang Terbesar (?), Sebuah ulasan singkat mengenai Injil Markus 9:33-37

33 Kemudian tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Kapernaum. Ketika Yesus sudah di rumah, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: ”Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?” 34 Tetapi mereka diam, sebab di tengah jalan tadi mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka. 35 Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata-Nya kepada mereka: ”Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” 36 Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: 37 ”Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”


Siapa di antara kita yang tidak ingin dihormati? Siapa yang tidak ingin mendapat kekuasaan, kemampuan dan hak untuk memerintah, dan disegani oleh banyak orang? Saya kira jarang orang jaman sekarang yang tidak menginginkan hal-hal tersebut. Itu normal dan wajar, tak perlu disalahkan. Kebanyakan orang justru merasa perlu berebut untuk mendapatkan posisi penting yang berkuasa dan disegani.
Di mana-mana orang bekerja keras demi status sosial yang lebih tinggi. Di manapun dan kapanpun, orang berusaha tampil sebaik mungkin, dengan pakaian indah dan mewah segala macam. Itu normal, karena umumnya mereka lebih dihormati daripada orang lain. Lagipula lihatlah, sudah sejak dulu ”tradisi” seperti itu telah muncul. Jauh sebelum masehi, manusia sudah memiliki kecenderungan untuk mencari kehormatan, kekuasaan, dan kedudukan.
Pandangan dan kecenderungan yang demikian justru dikritik dan dibalik oleh Yesus. Karena ”tradisi” masyarakat dunia kebanyakan yang sedemikian rupalah yang membuat seringnya Yesus menegaskan pentingnya kerendahan hati dan pelayanan. Maka ketika Yesus tahu bahwa para murid-Nya juga mempermasalahkan kekuasaan, ia mengkritik mereka semua. Konsep yang dimiliki para murid adalah konsep duniawi. Ke-Mesias-an Yesus juga dipahami secara duniawi. Jadi mereka merasa perlu berebut untuk mendapatkan posisi yang penting di samping Yesus. Yesus pun bertanya dengan berpura-pura tak tahu apa yang mereka perbincangkan. Itu membuat pertanyaan-Nya menimbulkan kerepotan dan kecemasan tersendiri bagi para murid. Mengaku dengan jujur, terlalu memalukan. Maka mereka pun diam.
Yesus juga tidak marah kepada murid-murid-Nya. Ia memahami apa yang mereka ributkan. Apa yang Yesus ajarkan dan contohkan selama ini belumlah cukup untuk mengubah pola pikir murid-murid-Nya. Yesus berkata, "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya." Menjadi yang terbesar bukanlah suatu hal yang salah. Masalahnya, motivasinya yang harus diubah. Selama ini kita berpandangan bahwa menjadi yang terbesar berarti dilayani, mendapat fasilitas, memiliki kekuasaan untuk memerintah dsb. Mereka menguasai dan menggunakan segala sesuatu untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebaliknya, menjadi yang terbesar dan terutama dalam rangka mengikut Yesus berarti melayani, memperhatikan, dan berkarya bagi orang lain. Hal ini jauh dari pikiran untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri.
Cobalah amati cerita ini: Di Yunani ada cerita tentang seorang Sparta bernama Paedaretos. Tiga ratus orang akan dipilih untuk berperang dan Paedaretos adalah salah satu calonnya. Ketika diumumkan, ternyata namanya tidak tercantum. Salah seorang kawannya berkata, "Saya menyesal karena kamu tidak terpilih. Rakyat semestinya sudah tahu bahwa kamu sudah menunjukkan diri sebagai seorang pejabat negara yang bijaksana." Kata Paedaretos, "Saya senang bahwa di Sparta ada 299 orang yang lebih baik dibandingkan saya. "
Dalam cerita ini kita bertemu dengan seorang yang menjadi legenda karena ia siap untuk memberikan tempat pertama kepada orang lain dan sama sekali tidak merasa sakit hati. Cerita ini berbicara tentang kesediaan diri untuk tidak menganggap dirinya paling penting dan pantas untuk menduduki jabatan tertentu, juga kesediaan diri untuk melihat orang lain menjadi yang terpilih.
Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah. Seorang anak (yang juga masih jernih, polos, dan baik) dijadikan contoh untuk menjelaskan arti ungkapan yang terakhir dari semuanya, pelayan dari semuanya. Ia sama sekali tidak mempunyai pengaruh dan jarang diperhatikan. Ia dipandang tidak dapat memberikan kontribusi bagi kesuksesan seseorang. Sikap Yesus terhadap anak-anak mengingatkan kita akan perhatian-Nya yang serupa pada para pendosa, pemungut cukai, dsb. Kerajaan Allah dikaruniakan kepada orang-orang yang diabaikan, ditindas, dan tidak ada yang membela. Di sini Yesus juga menegaskan adanya kesamaan antara anak dengan diri-Nya. Menyambut anak bukan hanya suatu sikap batin belaka, tetapi tindakan konkret mirip ”menerima sebagai tamu terhormat”. Menyambut Yesus itu seperti menyambut seorang anak kecil yang berarti siap menyambut dan melayani siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Kehadiran murid-murid Yesus adalah untuk melayani dan memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Kehadiran gereja adalah untuk membantu masyarakat yang memerlukan bantuan. Kita tidak boleh menghindarkan diri dari orang-orang yang membutuhkan bantuan kita walaupun memang lebih mudah menjalin hubungan dengan orang orang yang bisa membantu kita.
Marilah kita hening sejenak.. Tuhan Allah yang mahakuasa, curahkanlah rahmat-Mu yang melimpah kepada kami supaya kami pun dapat mencontoh apa yang telah dilakukan putera-Mu yang terkasih Tuhan kami Yesus Kristus. Semoga kami dapat menjadi semakin dewasa, tidak diwarnai pola pikir dunia, memurnikan ambisi, rendah hati dan berani untuk dianggap tidak penting, seperti layaknya seorang anak kecil.
Kemuliaan kepada Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus, seperti pada permulaan sekarang, selalu dan sepanjang segala abad. Amin.

The End of Majapahit and Buddhism

Peninggalan budaya yang sarat dengan unsur Budha pada jaman Kerajaan Majapahit masih dapat ditemukan hampir di seluruh Nusantara. Dan karena Kerajaan Majapahit beraliran Budha, maka tak heran jika situs-situs peninggalannya juga sarat dengan unsur Budha. Namun toh pada akhirnya budaya itu tergantikan dengan budaya lain, yakni budaya agama Islam. Bagaimana agama Budha yang demikian besar dan berkembang di jaman Majapahit akhirnya mengalami kemunduran, hingga akhirnya lenyap tidak dikenal sama sekali untuk sekian lama?
Suatu agama akan berkembang menjadi besar jika didukung oleh beberapa hal penting. Hal tersebut antara lain:
1. didukung oleh raja. Jika seorang raja atau pemimpin negara lain memeluk suatu agama, maka secara otomatis agama tersebut akan menjadi agama negara. Kegiatan keagamaan juga akan semakin ramai. Jika tidak didukung oleh raja, maka keberadaan Candi Borobudur dan Candi Prambanan tidak akan ada.
2. ditangani oleh kaum profesional (tokoh) agama. Sebagai ahli dan pelaku suatu agama, waktu, pikiran, ucapan, dan tindakan sepenuhnya tercurah untuk kemajuan agamanya.
3. tingkat kemakmuran dan kerelaan umat. Jika dua hal itu cukup, pengadaan sarana dan prasarana demi pengembangan keagamaan akan terwujud dengan mudah.
4. tingkat keimanan cukup mantap, tidak mudah terpengaruh atau pindah agama.

Jika dicermati, agama Budha pada jaman Majapahit menjadi besar karena terpenuhinya hal-hal tersebut. Raja, pejabat tinggi negara, dan rakyatnya menganut cara berpikir Budhis dan beragama Budha. Sementara itu agama Budha di Indonesia sekarang dalam kondisi baik dan aman, karena sah dan dilindungi Undang-Undang. Tetapi kegiatan keagamaan terkesan tersendat-sendat karena belum ditangani oleh kaum profesional. Hal ini berakibat perhatian dan pencurahan energi, serta pemikiran yang masih harus dibagi dengan tanggung jawab kebutuhan lain.
Namun yang terjadi ketika Majapahit memasuki masa-masa kemundurannya adalah yang sebaliknya. Petinggi-petinggi negara beralih agama, para tokoh agama menyimpang dari haluan, tingkat kesejahteraan rakyat tidak mendukung, diikuti dengan goyahnya keimanan, membuat agama semakin lama semakin ditinggalkan. Maka secara tidak langsung kerajaan Majapahit pun terpengaruh dengan mulai menurunnya kekuatan dan kekuasaan.
Hal lain yang menjadi sebab memudarnya budaya Budah adalah ketika Raja Brawijaya V menikah dengan Putri Campa (China). Mereka kemudian memiliki keturunan yang bernama Raden Babah Patah (Raden Patah). Sejak kecil Raden Patah dididik oleh Raja Ariyodamar di Palembang, Sumatera, yang telah menganut agama lain. Jadi Raden Patah tidak diajarkan agama Budha sampai menjadi besar dan kembali ke tanah Jawa.
Brawijaya kemudian menerimanya dan memberi wilayah kekuasaan untuk dibuka menjadi kerajaan baru. Wilayah tersebut dibangun hingga sedemikan rupa oleh Raden Patah beserta guru-guru spiritualnya, yakni para wali (baca: WaliSanga). Dan jadilah kerajaan baru beraliran Islam di Demak, Jawa Tengah. Demi kepentingan tertentu, guru-guru spiritualnya mendesak Raden Patah sebagai Raja Kerajaan Demak untuk segera mereformasi Majapahit dan mengganti agama resmi. Dan usaha tersebut akhirnya berhasil memaksa Raden Patah untuk mendesak Brawijaya, ayahnya, agar mereformasi Majapahit. Tentu saja Brawijaya menolak desakan Raden Patah.
Suatu saat, kerajaan Majapahit didatangi pasukan tentara dari Demak dengan tujuan mereformasi Majapahit. Prabu Brawijaya sebagai orangtua tentu berpikir panjang, apakah dia harus berperang dengan sang anak. Dia sebagai orangtua sudah rela kurang makan-minum, kurang tidur, asal anak bahagia. Maka meskipun kerajaan dalam keadaan bahaya, Brawijaya memilih pergi meninggalkan kerajaan menuju Blambangan, daripada harus berperang dengan sang anak. Jadi kerajaan Majapahit saat itu bukan diambil alih dengan peperangan atau perundingan, melainkan ditinggal pergi oleh rajanya. Akhirnya Raja Demak berhasil merebut istana kerajaan Majapahit. Namun misinya belum dianggap sukses karena Brawijaya belum berpindah agama.
Di Blambangan, Prabu Brawijaya ditemui Raden Sahid Sunan Kalijaga untuk membujuk dan merayu, juga memohon agar Brawijaya bersedia kembali ke Majapahit dan berpindah agama. Brawijaya bersedia kembali ke Majapahit demi sang anak, bukannya kerajaan, sehingga perpindahan agama tetap tak dilakukan. Dialog berlangsung terlampau lama dan tak kunjung menemui jalan keluar. Sabdopalon dan Noyoginggong (kurang lebih artinya adalah bhikkhu), dua penasihat spiritual Brawijaya mengambil alih dialog. Akhirnya Sabdopalon, Noyoginggong, dan Sunan Kalijaga berdebat seru mengadu ilmu dan kesaktian.
Untuk membuktikan bahwa misi baru tersebut hebat, Sunan Kalijaga mengambil air untuk mencuci muka. Begitu tangannya menyentuh air, air tersebut menjadi berbau wangi. Untuk menandai kejadian ajaib itu, maka tempat itu dinamakan Banyuwangi.
Akhirnya dicapailah kesepakatan bahwa Brawijaya beserta yang lainnya beranjak dari Blambangan menuju Majapahit. Ketika beristirahat di suatu tempat, perundingan pun dilanjutkan kembali. Sabdopalon dan Noyoginggong tak bisa tinggal diam menerima keajaiban air wangi tersebut. Mereka ingin menguji sampai kapan air tersebut mampu bertahan wangi. Ternyata air wangi tersebut tidak bertahan lama, dan justru berubah menjadi berbau busuk dan banger.
Sementara itu Prabu Brawijaya menyatakan bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan Majapahit dan juga berganti agama. Itu semua dilakukan karena kasih sayangnya kepada sang anak yang sangat besar. Semua rela dilakukannya asalkan tidak terjadi pertumpahan darah yang sia-sia.
Mendengar perkataan sang raja, Sabdopalon dan Noyoginggong memutuskan untuk pergi dan tidur, sampai agama Budha muncul kembali. Dan untuk memberi saksi harumnya air wangi menjadi berbau busuk dan banger, tempat itu diberi nama Jember. Dengan demikian, berakhirlah masa kejayaan Kerajaan Majapahit dan muncullah Kerajaan Demak Bintoro yang be

Salah Kaprah

Pengantar
Pernahkah anda mendengar seseorang berkata,”Silahkan semuanya maju ke depan”? Tahukah anda, bahwa kalimat tersebut sebenarnya salah menurut bahasa Indonesia yang baik dan benar? Namun kita seakan tak menganggap bahwa itu salah. Mungkin karena sudah terlalu biasa terdengar di telinga kita, sehingga kita tak mengira bahwa itu salah. Dalam tata bahasa, hal demikian dinamakan Salah Kaprah.
Salah kaprah dapat terjadi, bahkan sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya dalam hal bahasa. Sangat disayangkan, kita melakukan sesuatu yang salah, tanpa sadar bahwa apa yang kita lakukan itu salah. Percaya atau tidak, kelakuan yang demikian dapat menjadikan seseorang tidak peduli, atau bahkan tidak tahu lagi bagaimana aturan atau hukum yang sebenarnya.
Dalam hal bahasa, mungkin masalah dan akibat yang timbul tidak sebesar masalah dan akibat dalam hal lain, apalagi dalam bahasa lisan. Dalam bahasa lisan, pesan dapat dipahami dengan cepat dan mudah dipahami karena mereka yang berkomunikasi melengkapinya dengan bahasa tubuh. Dalam bahasa tulis, salah kaprah masih bisa dibendung dengan adanya hukum dan aturan baku yang menjadi rambu-rambu. Hal-hal tersebut sebaiknya menjadi pedoman dalam berbahasa, supaya pesan yang disampaikan dapat dipahami dan tidak menimbulkan arti ganda.

Landasan Teori
Salah kaprah adalah istilah yang diambil dari bahasa Jawa. “Kaprah” itu berarti sesuatu yang biasa. Salah kaprah dalam kebahasaan diartikan sebagai salah atau kesalahan yang sudah umum, sehingga karena sudah terbiasa dengan yang salah seperti itu, orang tidak lagi merasakan bahwa itu salah.
Dalam hidup sehari-hari, salah kaprah lebih sering kita jumpai dalam bahasa lisan, meskipun ada juga dalam bahasa tulis. Kadang-kadang lahir susunan kalimat yang kacau karena si pembicara atau penulis kurang menguasai aturan penyusunan kalimat yang baik. Kesalahan itu kemudian sering terjadi, tidak hanya sekali. Akibatnya, kalimat yang salah itu terasa seolah-olah sudah benar, dan karena itu dipakai terus-menerus. Kesalahan seperti inilah yang disebut salah kaprah.
Dalam kesempatan ini, penulis lebih tertarik untuk membahas salah kaprah dalam bahasa tulis. Namun baiklah penulis juga menyertakan beberapa contoh salah kaprah dalam bahasa lisan, meskipun tidak disertai dengan analisis dan pembahasannya.
Contoh salah kaprah dalam bahasa lisan:
1. ”Segeralah kamu naik ke atas!”
2. ”....waktu dan tempat kami persilahkan.”
3. ”Dik, cepat buatkan bapak kopi!”
4. ”Siapa yang bisa memanjat kelapa?”
5. dan masih banyak lagi.

Masalah dan Analisis
1. Salah kaprah terjadi ketika seseorang tidak dapat memaknakan dengan baik ”Hukum Diterangkan Menerangkan” (DM), yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Contoh yang sudah familiar di telinga kita adalah ”polisi wanita”. Berikut pembahasannya.
a. Berdasarkan hukum DM, polisi wanita adalah polisi yang mengurusi wanita, atau polisi yang berkaitan dengan urusan wanita. Ini sama halnya dengan polisi lalu lintas (polisi yang mengurusi lalu lintas), polisi pariwisata (polisi yang mengurusi pariwisata), polisi pamongpraja (polisi yang mengawasi dan mengamankan keputusan pemerintah di wilayahnya), dan sebagainya.
b. Pada kenyataannya, istilah polisi wanita tentu tidak diartikan secara tepat seperti yang dijelaskan pada poin a. ”Polisi wanita” justru digunakan untuk menunjuk wanita atau himpunan wanita yang bertugas sebagai polisi. Pengartian demikian semakin menjadi ketika tidak ada seorang lelaki pun di kalangan ini.
c. Jika memang digunakan untuk menunjuk wanita atau himpunan wanita yang bertugas sebagai polisi, seharusnya digunakan kata ”wanita polisi” atau ”korps wanita polisi”, dan bukan ”polisi wanita” atau ”korps polisi wanita”.
d. Istilah serupa sudah digunakan pada tubuh TNI seperti misalnya, KOWAD (Korps Wanita Angkatan Darat), KOWAL (Korps Wanita Angkatan Laut), KOWAU (Korps Wanita Angkatan Udara).
e. Kita bisa membandingkannya dengan frase ”pengusaha wanita”. Berdasarkan hukum DM, pengusahan wanita adalah seseorang yang mengusahakan wanita. Kenyataannya, arti tersebut tidak sejalan dengan arti yang diinginkan orang-orang dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin yang dimaksud adalah ”wanita pengusaha”. Wanita pengusaha adalah wanita yang bertugas atau bekerja sebagai pengusaha. Dalam kehidupan sehari-hari, wanita pasti akan merasa lebih terhormat sebagai wanita pengusaha daripada pengusaha wanita.
2. Salah kaprah juga terjadi karena ketidaktaatan atau ketidakkonsistenan terhadap hukum DM. Contoh yang juga sudah familiar adalah sepakbola dan bulutangkis. Berikut pembahasannya.
a. Selama ini sepakbola dan bulutangkis termasuk jenis olahraga. Dari segi makna berdasarkan hukum DM, sepakbola sebenarnya lebih tepat dikategorikan sebagai jenis olahraga daripada bulutangkis.
b. Kata sepakbola merujuk pada gerakan menyepak bola (aktifitas  olahraga), sedangkan bulutangkis merujuk pada barang (berupa shuttlecock) yang ditangkis (bukan aktifitas  bukan olahraga).
3. Salah kaprah berikutnya berkaitan dengan penamaan lembaga yang tidak mencerminkan tugasnya. Sebagai contoh yaitu Badan Narkotika Nasional. Berikut pembahasannya.
a. Sadar atau tidak, nama ini sebenarnya tidak tepat untuk menyebut lembaga yang bertugas mengendalikan atau memberantas penyalahgunaan narkotika. Nama yang tepat untuk lembaga yang tugasnya seperti ini adalah misalnya: Badan Pengendalian Narkotika Nasional atau Badan Antinarkotika Nasional, dsb.
b. Coba bandingkan dengan nama-nama lembaga lain seperti, Komisi Pemberantasan Korupsi (yang bertugas memberantas korupsi), Badan Pengawasan Obat dan Makanan (yang bertugas mengawasi keamanan atau menguji kandungan unsur dalam obat dan makanan), Badan Kepegawaian Negara (yang mengurusi seluk beluk administrasi pegawai negara), dan Badan Pengawasan Daerah (yang bertugas mengawasi kinerja pegawai di daerah)
4. Penggunaan istilah yang maknanya tidak logis juga merupakan salah kaprah. Contoh: Memasak nasi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan istilah tersebut. Sebenarnya kita tak pernah memasak nasi. Yang kita masak adalah beras, yang dimasak agar empuk atau menjadi nasi dan bisa dimakan. ”Memasak nasi” hanya tepat digunakan untuk pekerjaan memanaskan nasi yang sudah dingin atau sudah tidak begitu enak untuk dimakan.
5. Selain istilah yang tidak logis, kalimat dengan makna yang tidak logis pun termasuk salah kaprah. Contoh: Dalam razia terakhir, banyak pelanggar lalu lintas dikenakan denda.
a. Sepintas kalimat tersebut memang benar, tapi jika diperhatikan lebih jauh, kalimat tersebut tidaklah logis.
b. Ketidaklogisan makna kalimat dapat dirasakan, setelah susunan kalimat diubah dari pasif ke aktif. Maka, kalimat aktifnya adalah: Dalam razia terakhir, denda mengenakan banyak pelanggar lalu lintas. Tidak logis bukan?
c. Coba bandingkan kalimat itu dengan beberapa kalimat berikut:
i. Dalam razia terakhir, denda dikenakan (oleh polisi) kepada banyak pelanggar lalu lintas.
ii. Dalam razia terakhir, banyak pelanggar lalu lintas dikenai denda (oleh polisi).
d. Makna kalimat dua terakhir ini pasti lebih logis daripada makna kalimat sebelumnya.

Penutup
Indonesia memiliki bahasa Indonesia sebagai resmi, maka hendaknya kita menggunakannya dengan baik dan benar. Pada kenyataannya terdapat banyak sekali kesalahan dalam penggunaan bahasa Indonesia. Namun sayangnya, kita terlanjur nyaman dengan kesalahan-kesalahan yang terjadi, sehingga tidak terganggu karenanya. Dalam hal ini, penggunaan kata ”polisi wanita” menjadi contoh.
Dalam hidup sehari-hari, kita bisa menjumpai banyak sekali kesalahan yang sudah kaprah (sudah biasa) dalam bahasa lisan. Kadang-kadang lahir susunan kalimat yang kacau karena si pembicara kurang menguasai aturan penyusunan kalimat dengan baik. Biasanya kesalahan itu tidak terjadi hanya sekali saja, melainkan terjadi terus menerus dan berulang-ulang. Hal ini menyebabkan kata atau kalimat yang salah tersebut dirasa sudah benar karena dipakai terus menerus dan tak ada yang memprotes.