Selasa, 02 Maret 2010

The End of Majapahit and Buddhism

Peninggalan budaya yang sarat dengan unsur Budha pada jaman Kerajaan Majapahit masih dapat ditemukan hampir di seluruh Nusantara. Dan karena Kerajaan Majapahit beraliran Budha, maka tak heran jika situs-situs peninggalannya juga sarat dengan unsur Budha. Namun toh pada akhirnya budaya itu tergantikan dengan budaya lain, yakni budaya agama Islam. Bagaimana agama Budha yang demikian besar dan berkembang di jaman Majapahit akhirnya mengalami kemunduran, hingga akhirnya lenyap tidak dikenal sama sekali untuk sekian lama?
Suatu agama akan berkembang menjadi besar jika didukung oleh beberapa hal penting. Hal tersebut antara lain:
1. didukung oleh raja. Jika seorang raja atau pemimpin negara lain memeluk suatu agama, maka secara otomatis agama tersebut akan menjadi agama negara. Kegiatan keagamaan juga akan semakin ramai. Jika tidak didukung oleh raja, maka keberadaan Candi Borobudur dan Candi Prambanan tidak akan ada.
2. ditangani oleh kaum profesional (tokoh) agama. Sebagai ahli dan pelaku suatu agama, waktu, pikiran, ucapan, dan tindakan sepenuhnya tercurah untuk kemajuan agamanya.
3. tingkat kemakmuran dan kerelaan umat. Jika dua hal itu cukup, pengadaan sarana dan prasarana demi pengembangan keagamaan akan terwujud dengan mudah.
4. tingkat keimanan cukup mantap, tidak mudah terpengaruh atau pindah agama.

Jika dicermati, agama Budha pada jaman Majapahit menjadi besar karena terpenuhinya hal-hal tersebut. Raja, pejabat tinggi negara, dan rakyatnya menganut cara berpikir Budhis dan beragama Budha. Sementara itu agama Budha di Indonesia sekarang dalam kondisi baik dan aman, karena sah dan dilindungi Undang-Undang. Tetapi kegiatan keagamaan terkesan tersendat-sendat karena belum ditangani oleh kaum profesional. Hal ini berakibat perhatian dan pencurahan energi, serta pemikiran yang masih harus dibagi dengan tanggung jawab kebutuhan lain.
Namun yang terjadi ketika Majapahit memasuki masa-masa kemundurannya adalah yang sebaliknya. Petinggi-petinggi negara beralih agama, para tokoh agama menyimpang dari haluan, tingkat kesejahteraan rakyat tidak mendukung, diikuti dengan goyahnya keimanan, membuat agama semakin lama semakin ditinggalkan. Maka secara tidak langsung kerajaan Majapahit pun terpengaruh dengan mulai menurunnya kekuatan dan kekuasaan.
Hal lain yang menjadi sebab memudarnya budaya Budah adalah ketika Raja Brawijaya V menikah dengan Putri Campa (China). Mereka kemudian memiliki keturunan yang bernama Raden Babah Patah (Raden Patah). Sejak kecil Raden Patah dididik oleh Raja Ariyodamar di Palembang, Sumatera, yang telah menganut agama lain. Jadi Raden Patah tidak diajarkan agama Budha sampai menjadi besar dan kembali ke tanah Jawa.
Brawijaya kemudian menerimanya dan memberi wilayah kekuasaan untuk dibuka menjadi kerajaan baru. Wilayah tersebut dibangun hingga sedemikan rupa oleh Raden Patah beserta guru-guru spiritualnya, yakni para wali (baca: WaliSanga). Dan jadilah kerajaan baru beraliran Islam di Demak, Jawa Tengah. Demi kepentingan tertentu, guru-guru spiritualnya mendesak Raden Patah sebagai Raja Kerajaan Demak untuk segera mereformasi Majapahit dan mengganti agama resmi. Dan usaha tersebut akhirnya berhasil memaksa Raden Patah untuk mendesak Brawijaya, ayahnya, agar mereformasi Majapahit. Tentu saja Brawijaya menolak desakan Raden Patah.
Suatu saat, kerajaan Majapahit didatangi pasukan tentara dari Demak dengan tujuan mereformasi Majapahit. Prabu Brawijaya sebagai orangtua tentu berpikir panjang, apakah dia harus berperang dengan sang anak. Dia sebagai orangtua sudah rela kurang makan-minum, kurang tidur, asal anak bahagia. Maka meskipun kerajaan dalam keadaan bahaya, Brawijaya memilih pergi meninggalkan kerajaan menuju Blambangan, daripada harus berperang dengan sang anak. Jadi kerajaan Majapahit saat itu bukan diambil alih dengan peperangan atau perundingan, melainkan ditinggal pergi oleh rajanya. Akhirnya Raja Demak berhasil merebut istana kerajaan Majapahit. Namun misinya belum dianggap sukses karena Brawijaya belum berpindah agama.
Di Blambangan, Prabu Brawijaya ditemui Raden Sahid Sunan Kalijaga untuk membujuk dan merayu, juga memohon agar Brawijaya bersedia kembali ke Majapahit dan berpindah agama. Brawijaya bersedia kembali ke Majapahit demi sang anak, bukannya kerajaan, sehingga perpindahan agama tetap tak dilakukan. Dialog berlangsung terlampau lama dan tak kunjung menemui jalan keluar. Sabdopalon dan Noyoginggong (kurang lebih artinya adalah bhikkhu), dua penasihat spiritual Brawijaya mengambil alih dialog. Akhirnya Sabdopalon, Noyoginggong, dan Sunan Kalijaga berdebat seru mengadu ilmu dan kesaktian.
Untuk membuktikan bahwa misi baru tersebut hebat, Sunan Kalijaga mengambil air untuk mencuci muka. Begitu tangannya menyentuh air, air tersebut menjadi berbau wangi. Untuk menandai kejadian ajaib itu, maka tempat itu dinamakan Banyuwangi.
Akhirnya dicapailah kesepakatan bahwa Brawijaya beserta yang lainnya beranjak dari Blambangan menuju Majapahit. Ketika beristirahat di suatu tempat, perundingan pun dilanjutkan kembali. Sabdopalon dan Noyoginggong tak bisa tinggal diam menerima keajaiban air wangi tersebut. Mereka ingin menguji sampai kapan air tersebut mampu bertahan wangi. Ternyata air wangi tersebut tidak bertahan lama, dan justru berubah menjadi berbau busuk dan banger.
Sementara itu Prabu Brawijaya menyatakan bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan Majapahit dan juga berganti agama. Itu semua dilakukan karena kasih sayangnya kepada sang anak yang sangat besar. Semua rela dilakukannya asalkan tidak terjadi pertumpahan darah yang sia-sia.
Mendengar perkataan sang raja, Sabdopalon dan Noyoginggong memutuskan untuk pergi dan tidur, sampai agama Budha muncul kembali. Dan untuk memberi saksi harumnya air wangi menjadi berbau busuk dan banger, tempat itu diberi nama Jember. Dengan demikian, berakhirlah masa kejayaan Kerajaan Majapahit dan muncullah Kerajaan Demak Bintoro yang be

Tidak ada komentar:

Posting Komentar