Senin, 01 Maret 2010

Jantera Bianglala

Jantera Bianglala adalah novel ketiga dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam novel ini, Ahmad Tohari, bercerita tentang kehidupan dan perjuangan Dukuh Paruk dalam menghadapi kerasnya kehidupan setelah tertimpa “bencana”. “Bencana” tersebut memang tidak dijelaskan dalam novel ini, mengingat novel ini adalah lanjutan dari dua novel sebelumnya. Namun dari berbagai keterangan dan sumber-sumber sejarah, “bencana” tersebut adalah seputar akibat dari kejadian G30S. Dan Dukuh Paruk diduga terlibat dalam huru-hara politik tersebut.

Alur yang digunakan pada novel ini adalah alur gabungan. Alur gabungan yang dimaksud adalah alur maju-mundur-maju. Hal ini dapat kita lihat ketika peristiwa demi peristiwa terus terjadi, mengiringi Dukuh Paruk yang semakin terpuruk. Alur berubah mundur ketika tokoh yang bernama Rasus yang baru pulang dari merantau mengenang masa kecilnya di Dukuh Paruk bersama kekasihnya, Srintil yang kemudian menjadi ronggeng (dan masih banyak lagi).

Novel Jantera Bianglala diawali dengan perkenalan dan pemaparan tentang keadaan Dukuh Paruk pasca huru-hara 1965 dan diikuti dengan kembalinya Rasus dari perantauan. Introduksi ini dipilih oleh Ahmad Tohari karena dalam novel sebelumnya diceritakan perihal kejatuhan Dukuh Paruk. Dalam novel ini Ahmad Tohari lebih banyak menggambarkan tentang konflik batin para tokohnya, seperti Rasus dan Srintil. Srintil, yang baru pulang dari penjara berkomitmen tak mau lagi meronggeng dan ingin menjadi istri seorang suami seperti yang dialami perempuan lain.

Konflik semakin berkembang manakala Srintil yang situasi batinnya masih labil dihadapkan dengan sejumlah pria yang tertarik untuk meminangnya. Sebutlah tokoh seperti Marsusi, Tamir, dan Bajus. Perumitan masalah pun semakin menjadi dengan bertemunya Srintil dengan kekasihnya saat kecil, Rasus. Namun dari semuanya itu, yang terlihat menjalin hubungan begitu serius adalah Bajus. Dan Srintil mau tidak mau mengikuti dinamika kehidupan barunya bersama Bajus.

Perumitan masalah tersebut diselesaikan dengan kisah di mana Srintil pergi ke sebuah rapat bersama Bajus. Kisah ini sekaligus berperan sebagai klimaks novel ini, karena di sanalah ditentukan akhir cerita sekaligus karya trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang dapat dikatakan mengejutkan setiap pembacanya. Diceritakan bahwa Bajus tidak ingin menikahi Srintil, melainkan memanfaatkannya sebagai ”penghibur” atasannya agar dapat pekerjaan. Karena itulah lalu muncul konflik batin yang begitu besar dalam diri Srintil, hingga ia sendiri tak dapat mengatasinya, dan berakhir dengan hilangnya aspek manusiawi seorang Srintil (baca:gila).

Ahmad Tohari masih memunculkan Srintil sebagai tokoh utama dan diikuti Rasus, Bajus, Nyai Kartareja, dan beberapa tokoh lain sebagai tokoh pembantu. Kartareja, Nyai Sakarya, Sakum, dan tokoh lain berperan sebagai tokoh pembantu. Tamir, Sakarya, Goder, Tampi, dan tokoh lainnya berperan sebagai tokoh figuran.

Setting tempat yang digunakan untuk menceritakan novel ini berada di Dukuh Paruk kemungkinan besar berada di sekitar daerah Banyumas. Hal ini disebabkan oleh bahasa yang khas dialek banyumasan, dan nama seperti “Nusakambangan” sempat muncul. Sedangkan setting waktunya tidak dijelaskan secara eksplisit namun kira-kira sekitar tahun 1966-1970. Hal tersebut dibuktikan dengan pulangnya Srintil selepas tahanan, hingga tanggapan masyarakat sekitar Dukuh Paruk terhadap orang Dukuh Paruk. Suasana pedesaan yang terpencil masih tergambarkan secara eksplisit. Kemiskinan yang merajalela pun juga dipaparkan apa adanya. Kehidupan Dukuh Paruk banyak terpengaruh oleh huru-hara politik nasional, yakni peristiwa G 30 S.

Sudut pandang yang dipakai Ahmad Tohari adalah sudut pandang akuan dan diaan. Dia melakukan itu karena tidak ingin dirinya “terlibat” terlalu jauh dalam ceritanya. Namun, “aku” yang dipakai di beberapa bagian berbeda-beda. Kadang kala Rasus, kadang Srintil, atau bahkan tokoh lainnya.

Huru-hara politik saat itu sangat mempengaruhi penulisan novel ini. Ahmad Tohari, yang kala itu masih remaja, sempat menyaksikan peristiwa mengerikan tersebut. Saat itu, orang-orang yang diduga adalah PKI ditahan, atau bahkan dihabisi. Keadaan para tahanan sangat mengenaskan, terutama tahanan perempuan karena di sana mereka dianiaya dan mengalami pelecehan seksual. Hal itulah yang dialami Srintil selama dua tahun masa tahanannya walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit.

Sementara itu, pemerintah baru yang menamakan diri sebagai Orde Baru mulai melakukan pembangunan di berbagai bidang, salah satunya dengan membangun saluran irigasi di sekitar Dukuh Paruk. Dari peristiwa itulah muncul tokoh bernama Bajus.

Keadaan penulis saat itu juga mempengaruhi apa yang ditulisnya di novel ini. Kekerasan menjadi suatu hal yang akrab bagi Tohari, begitu pula ia mengungkapkannya dalam novel ini. Selain itu masih ada kemiskinan yang merajalela serta stratifikasi sosial yang membuat adanya perbedaan kelas sosial. Kehidupan yang dijalaninya di pedesaan dengan segudang pemandangan indah juga membuat Tohari memunculkan lukisan pemandangan khas pedesaan hampir di setiap awal bagian. Selain itu, kecintaannya pada motor Harley Davidson diungkapkannya dengan tokoh Marsusi yang memilikinya.

3 komentar:

  1. Ringkasan yg bagus Mas Loui ... mau tanya apakah setelah Jentera bianglala ini ada kelanjutan cerita srintil dan rasus ?
    btw menurutku di trilogi novel ronggeng dukuh paruk ini, Pak Ahmad Tohari menyelipkan pesan dalam kehidupan tokoh-tokoh utamanya Rasus dan srintil, yaitu bagaimana mereka bertransformasi ... metamorfosa diri dalam mencari tujuan hidupnya

    BalasHapus
  2. Ceritanya gambang... dan saya terpaksa harus berimajinasi apa yang akan terjadi berikutnya.. apakah srintil sembuh dari gilanya.. seandainya mereka menikah bukankah seorang tentara akan dipecat karena menikahi seorang yang terlibat.. jadi susah apa yang dipih diantara banyaknya kemungkiman2 yang ada

    BalasHapus
  3. Akhir kisahnya kok sedih ya. Mungkin ada lanjutanya yg mengisahkan bangkitnya srintil dr keterpurukan dng bimbingan rasus tentu saja

    BalasHapus