Senin, 01 Maret 2010

Menjadi Lebih Cerdas Bersama Koran

Media massa, dalam hal ini koran, telah mendapatkan tempat tersendiri dalam hati publik. Perlahan tapi pasti koran menjelma menjadi sebuah kebutuhan sehari-hari masyarakat. Sadar atau tidak sekarang ini koran memberikan pengaruh yang cukup vital dalam kehidupan masyarakat. Percayakah anda bahwa koran dapat membentuk kepribadian seseorang, bahkan lebih luas lagi masyarakat? Percaya atau tidak hal itulah yang sudah, sedang, dan mungkin akan terus terjadi di jaman sekarang ini.

Masalah Kepribadian Indonesia

Kita pasti tahu bagaimana pribadi masyarakat Indonesia dewasa ini. Sebentar-sebentar demo, protes, tuntut ini tuntut itu, dsb. Ya, itu memang baik dan juga merupakan hak kita sebagai rakyat, lagipula tidak melanggar hukum yang ada bukan? Namanya juga demokrasi. Namun cerita menjadi lain jika kegiatan itu berakhir dengan kekerasan dan anarkisme. Bukan demokrasi lagi namanya meskipun mengatasnamakan tindakan tersebut sebagai demokrasi.

Sebenarnya hanya ada dua hal pokok yang mendasari terbentuknya kepribadian tersebut. Yang pertama, manusia Indonesia sudah lama dimanja oleh kebijakan pemerintah, lemahnya peran koran, dsb. Ini membuat manusia Indonesia lebih senang dengan segala sesuatu yang bersifat instan. Jika ada suatu hal yang membutuhkan kerja keras, ditambah semakin bebasnya kehidupan di jaman reformasi, maka kita mudah protes dan mengeluh.

Kedua, setelah sekian lama ”dimanja dan dikekang” oleh pemerintahan Orde Baru, kita menjadi semakin terbiasa dengan keadaan nyaman dan damai. Maka ketika memasuki jaman reformasi yang lebih bebas dan terbuka, kita mudah mengeluh dan marah-marah. Intinya kita tak menghendaki adanya perubahan, tidak setuju dengan perubahan dengan demonstrasi, dsb, namun tidak memberikan solusi yang membantu.

Memang hal-hal tersebut baru disadari dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan semakin berkembangnya jaman reformasi. Sebelumnya, sulit untuk menemukan aksi-aksi protes karena memang ”tidak diperbolehkan” oleh yang berkuasa. Permasalahannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah ada kaitannya dengan kemajuan dan kebebasan jaman, khususnya media massa (lebih khusus lagi koran)? Jika ya, bagaimana koran sebagai salah satu media massa yang mudah diperoleh dapat mempengaruhi pembacanya begitu dalam?

Koran sebagai Formator

Koran sebagai salah satu media massa yang murah meriah merupakan idola masyarakat saat ini. Hampir semua lapisan masyarakat Indonesia, yang berarti sekitar 200 juta orang membaca koran. Lalu bagaimana koran dapat berpengaruh sebegitu besar bagi kita? Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebabnya antara lain adalah tidak adanya lembaga khusus yang menyensor isi koran, mudahnya mendapatkan koran, dan belum matangnya penentuan target pembaca masing-masing koran.

Pertama, hingga saat ini belum ada lembaga resmi yang khusus menyensor isi berita koran, yang ada baru lembaga sensor film. Dengan demikian, setiap redaksi bisa saja memaparkan berita yang isinya tak pantas untuk dipaparkan kepada khalayak umum. Selain itu redaksi juga dapat membeberkan suatu peristiwa dari segala sudut pandang, baik yang berakhir positif maupun negatif, sekalipun itu mengabaikan visi dan misi koran tersebut. Dan yang kebanyakan terjadi di Indonesia adalah yang berita yang berisi hal-hal negatif/buruk yang terjadi.

Hal ini bisa saja memperburuk keadaan yang memang sudah buruk. Para pembaca kemudian menjadi begitu terbiasa dengan hal-hal buruk yang terjadi dan menjadi kurang peka dan kritis dalam menghadapi suatu permasalahan. Dengan demikian, secara tidak langsung koran membuat masyarakat menjadi tidak peka, egois, dan cenderung mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah sebagai organisasi yang berkuasa di negeri ini.

Kedua, saat ini koran jenis apa pun dapat diperoleh dengan sangat mudah. Siapa pun dapat membeli koran dengan bebas dan harga yang juga terjangkau. Sayangnya, hanya segelintir orang yang tahu dan sadar bahwa koran tersebut bukan diperuntukkan kepada dirinya. Atau yang lebih parah lagi, orang tahu dan sadar bahwa koran itu bukan untuknya, tetapi tetap saja dibaca dan dinikmati.

Selain itu. peran orang tua sebagai penyensor tak resmi juga semakin berkurang. Maka jangan heran bila belakangan ini banyak anak yang kehilangan masa kanak-kanak mereka. Koran untuk orang dewasa dibaca anak kecil, koran untuk ”kalangan menengah ke bawah” yang notabene berisi hal-hal yang ”tak layak” dibaca remaja, dsb. Tentu hal ini berpengaruh buruk bagi mereka. Faktor bahasa dan isi berita yang tak tepat sangat mungkin memberikan pengaruh yang buruk bagi para pembaca “salah sasaran” tersebut. Maka diperlukan adanya kesadaran baik bagi setiap pembaca maupun pihak yang berwenang mengatur konsumsi bacaan seseorang (orang tua, penjual koran,dsb).

Ketiga, penentuan target pembaca masing-masing redaksi belum terkoordinir. Redaksi tidak bisa seenaknya memaparkan berita secara seenaknya pula. Target pembaca juga harus jelas, siapa yang sebaiknya membaca koran tersebut, agar tidak terjadi salah sasaran lagi. Selain itu diperlukan adanya perubahan tentang cara penyajian berita. Melihat situasi masyarakat saat ini yang cenderung hidup dalam keterpurukan, hendaknya berita-berita yang ingin disampaikan dipaparkan dengan pendekatan positif, sekalipun itu tentang berita buruk. Maka berita yang disampaikan sekiranya tidak semakin membebani rakyat dengan beratnya kehidupan, tetapi mampu mengambil hikmah dari peristiwa yang disampaikan tersebut. Bukankah kita lebih enak membaca berita positif, sekalipun yang terjadi adalah peristiwa buruk.

Tidak adanya kejelasan mengenai target pembaca suatu koran semakin memperburuk. Maka pembaca terkadang tidak tahu dan sadar bahwa koran itu ditujukan kepada siapa. Pembaca cenderung cuek dan tidak peduli kepada siapa koran tersebut ditujukan. Tidak adanya kejelasan tujuan koran tersebut membuat publik berpikir bahwa koran itu boleh dinikmati oleh semua orang, siapa pun itu. Karena itulah peristiwa “salah sasaran” tidak terhindari lagi. Dan ini tentu saja berakibat buruk bagi orang yang tidak seharusnya membaca isi berita dalam koran yang dibacanya. Kalau “pertahanannya” lemah, kepribadiannya bisa terpengaruh begitu dalam dan otomatis kehidupan dalam lingkungan dia hidup pun ikut berubah.

Sebagai contoh, terjadi sebuah bencana alam di suatu daerah yang memakan banyak korban baik nyawa maupun harta. Kecenderungan media massa kita adalah asyik membahas tentang korban meninggal, sikap tanggap pemerintah yang dinilai lambat, akibat-akibat yang mungkin ditimbulkan oleh bencana tersebut, dsb. Di sinilah dapat dilihat bahwa koran semakin memperkeruh keadaan dengan memberikan kabar yang sekalipun nyata, tapi tak baik untuk diketahui masyarakat umum secara luas. Hal ini membuat orang kemudian cenderung menjadi marah pada Tuhan, atau bahkan cuek karena situasi yang sedemikian buruk,dsb.

Bukankah lebih baik jika yang disorot adalah berapa banyak jumlah korban yang selamat dan bisa bertahan hidup. Atau tentang betapa sigapnya pemerintah dalam menanggapi hal tersebut, juga betapa pedulinya masyarakat internasional terhadap kondisi bencana, dsb. Dengan demikian orang akan cenderung berpikir positif, bangga karena memiliki pemerintah yang peduli, dan bahkan bisa mengorbankan sesuatu miliknya untuk disumbangkan. Jauh lebih baik bukan?

Menjadi Manusia yang Semakin Dewasa

Sadar tak sadar perasaan dan kepribadian kita banyak dipengaruhi oleh media massa. Karena itulah media massa juga tidak boleh bermain-main dengan berita yang dipaparkan karena dapat mempengaruhi banyak orang dari berbagai lapisan. Bayangkan jika 200 juta penduduk Indonesia menjadi pribadi yang cuek, tak mau tahu, tidak kritis, dsb. Keadaan akan menjadi sangat rumit karena tak ada yang mau diatur, atau bahkan tak ada yang mau mengatur.

Di luar itu semua, kembali pada diri kita masing-masing, seberapa kuat “pertahanan” kita? Seberapa dewasakah kita, terutama dalam memilah-milah konsumsi kita? Sebaiknya kita tidak menelan mentah-mentah berita yang disampaikan oleh media massa, baik itu yang positif maupun negatif. Semua butuh proses dan pengolahan, maka jangan langsung percaya. Toh kekuatan rakyat jauh lebih besar untuk melawan kekuatan media massa, tentu jika kita tidak terpengaruh begitu dalam. Maka, kembali pada kita, seberapa cerdas dan dewasa diri kita dalam menikmati media massa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar