Senin, 01 Maret 2010

Waktuku Kecil Hidupku…

Sembah bekti kawula Dewi Maria, kekasihing… apalagi tadi, Bu..?”

Kira-kira begitulah kata-kata yang meluncur dari mulutku ketika diajari doa ”Salam Maria” dalam bahasa Jawa oleh kedua orangtuaku. Seingatku, saat itu aku belum memiliki adik, jadi usiaku sekitar tiga tahunan. Sebagai anggota gereja sejak dua bulan setelah lahir, aku diajari berbagai macam doa-doa dasar kristiani, secara khusus dalam konteks budaya Jawa. Walaupun kampung halamanku tidak mengenal keraton dan bahasa Jawa halus, aku tetap saja mendapatkan pelajaran tersebut. Itu karena bapak berasal dari wilayah Yogyakarta, jadi ya maklum. Katanya, aku bahkan sempat hafal beberapa doa dasar lain yang tentu saja berbahasa Jawa. Namun, seiring dengan berakhirnya sosialisasi primer yang dilanjutkan dengan sosialisasi sekunder, semua doa berbahasa Jawa hilang tak berbekas. Aku bahkan merasa asing dengan bahasa Jawa halus ketika memasuki usia remaja.

Masuknya aku ke dalam keluarga besar gereja Katholik sejak dua bulan setelah lahir, menjadi bukti konkret yang ke-sekian bahwa aku dicintai orangtuaku. Mereka kemudian juga mengajariku untuk menjadi seorang ”manusia” dengan sangat tekun dan sabar. Aku tahu, mengubah sebuah ”benda hidup” menjadi seorang ”manusia” sangatlah tidak mudah. Bahwa aku akhirnya menjadi pribadi yang tangguh dan sekaligus lemah merupakan hasil perjuangan keras orangtuaku. Proses sosialisasi yang kualami, baik primer maupun sekunder kulalui dengan baik dan diiringi hangatnya kasih sayang orangtua terhadap anak. Dapat dikatakan...mm...surga dunia!! Aku sungguh merasakan hangat dan ramahnya dunia menyambutku, yang diwakili oleh keluarga. Pusat oerhatian mereka pun tertuju padaku, sebagai buah hati kesayangan mereka. Memenuhi apapun yang kuminta adalah salah satu bentuk perhatian mereka padaku. Maklum, kala itu statusku adalah anak tunggal.

Lahirnya adik pertamaku membuat perhatian mereka terpecah. Aku jadi semakin ”tersingkir”. Merasa iri, akupun mencari perhatian dengan berbuat nakal. Tentu itu membuat orangtuaku kesal dan sudah tak segan untuk menghukumku jika sudah keterlaluan. Mungkin karena dimanja dan disayang berlebihan, aku kerap merasa bahwa mereka sudah tidak mencintaiku. Mereka membenciku. Lucunya, aku bahkan sempat kabur dari rumah sembari menangis.. Hihihi..betapa nakalnya.. Aku tak menyadari bahwa aku telah membuat orangtuaku khawatir. Namun, dengan malu-malu plus sesenggukan, aku kembali ke rumah beberapa menit sebelum matahari tenggelam. Alasannya? Apalagi kalau bukan takut. Tiap kali aku mengingatnya, aku tersenyum geli. Usiaku saat itu sekitar tujuh tahun. Cukup nekad dan nakal yah..?

Berbagai input yang masuk padaku saat masih kecil telah banyak mempengaruhiku. Setidaknya, itu berandil besar dalam pembentukan jati diriku. Aku bersyukur dilahirkan di sebuah keluarga yang harmonis, dengan pegangan dasar moral dan agama yang kuat. Maka, jadilah aku yang seperti ini. Bahwa aku memiliki banyak kekurangan, kurang percaya diri, manja, dsb, adalah salah satu bentuk ketidaksempurnaan sosialisasi primer. Bagaimanapun juga, inilah diriku. Orangtuaku telah mengubahku dari sebongkah ”daging” menjadi seorang ”manusia” yang berusaha berguna bagi orang lain.

Untuk mereka yang telah memformatku...

Coz IMPOSSIBLE means IM POSSIBLE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar