Selasa, 02 Maret 2010

Konflik --> Lokal, Nasional, Internasional

Konflik Lokal:
1. Kilas Peristiwa
Bidang :
a. sosial: adanya diskriminasi agama terhadap agama katolik. Ini terjadi sudah sejak dahulu, di mana katolik dan islam itu berperang (perang salib). Masyarakat islam secara de facto ialah kaum mayoritas di Negara Indonesia, sehingga ingin membuat Indonesia sebagai Negara Islam. Maka dari itu ada kaum-kaum islam yang tidak setuju adanya pembangunan gua Maria di tempat itu.
2. Sifatnya
3. Sebabnya :
a. kecemburuan social
b. ketakutan umat islam karena dengan pembuatan gua maria penyebaran agama katolik akan semakin pesat
c. fanatisme berlebihan suatu agama

4. Akibatnya : Pembangunan Gua Maria itu menjadi terhambat untuk sementara, namun dalam perkembangannya dapat berjalan kembali, walaupun tidak begitu lancar.
5. Solusinya:
.

:
1. Kilasan Peristiwa
Pertengahan Mei 1998, Indonesia digemparkan oleh kerusuhan massal yang terjadi serempak di berbagai kota di Indonesia. Tak kurang dari 1200 orang tewas mengenaskan, puluhan hilang, dan ribuan lainnya luka-luka. Beberapa hari setelah kerusuhan, gedung DPR/MPR jatuh ke tangan rakyat. Saat itu, puluhan ribu masyarakat, yang sebagian besar adalah mahasiswa, menguasai gedung DPR/MPR hingga tiga hari untuk menuntut Soeharto supaya mengundurkan diri. Peristiwa itulah yang akhirnya memaksa Presiden Soeharto untuk melepaskan tampuk kekuasaan pada 21 Mei 1998.
2. Bidang :
a. Politik :adanya konspirasi politik untuk menjatuhkan Soeharto beserta perdebatan siapa yang menggantikannya.
b. Ekonomi :semakin tidak tahannya masyarakat akan harga barang dan inflasi yang melambung tinggi akibat krisis moneter setahun sebelumnya. Masyarakat menilai pemerintahan Soeharto sudah tak mampu mengatasi keadaan.
c. Sosial :adanya diskriminasi ras terhadap etnis Tionghoa. Ini terjadi sejak ricuhnya pedagang-pedagang Cina dengan SDI (Sarekat Dagang Islam), namun pemerintah selama ini berhasil meredamnya. Masyarakat “cemburu” pada etnis Tionghoa yang sukses dan menjadi anak emas pemerintah selama ini. Dalam peristiwa ini, etnis Tionghoa menjadi korban mayoritas di mana terjadi kekerasan seksual (pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan seksual, dsb), pembunuhan, dan pembakaran rumah/tempat usaha mereka.
3. Sifat :kolektif dengan kekerasan. Konflik dilakukan oleh massa dengan jangkauan yang sangat luas, yang mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Konflik dilakukan dengan menggunakan kekerasan dan aksi-aksi anarkis berupa: pengrusakan, pembakaran, penyiksaan, penganiayaan, pemerkosaan, penculikan, hingga pembunuhan.
4. Sebab :
a. Kecemburuan sosial yang memuncak.
b. Krisis ekonomi yang semakin memburuk.
c. Instabilitas politik dan keamanan Negara.
Pemicu : Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak setelah seharian penuh melakukan aksi damai.
5. Akibat :
a. Adanya kerusakan, kerugian, dan korban terbesar sepanjang sejarah negeri ini.
b. Berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang berarti tumbangnya Rezim Orde Baru.
c. Indonesia memasuki jaman baru: Orde Reformasi
6. Solusi : tindakan pengamanan oleh aparat keamanan, yang terbilang sangat terlambat untuk bisa mengatasi terjadinya konflik berupa kerusuhan tersebut.

Konflik Internasional
1. Kilasan Peristiwa
Amerika Serikat sebagai Negara Adidaya di muka bumi ternyata masih mengalami konflik semacam rasialisme. Sudah sejak lama Negara itu dihuni oleh orang berkulit hitam dan orang berkulit putih. Bukti nyata nan besar adalah sewotnya sebagian besar warga AS ketika Barack Obama terpilih sebagai Presiden kulit hitam pertama di negeri itu.
2. Pelaku: kebanyakan adalah warga kulit putih, sebagai warga Negara yang memiliki pengaruh terbesar di negeri itu.
3. Bidang: Rasialisme: walaupun sudah “tak jaman” untuk mempermasalahkan perbedaan ras, hingga kini diskriminasi ras tetap saja terjadi.
4. Sifat: Individual: Meskipun terjadi di ruang lingkup yang luas, namun konflik yang terjadi biasanya lebih mengarah ke perseorangan atau gank yang mengatasnamakan ras masing-masing.
5. Sebab: Orang kulit putih sudah sejak lama menganggap bahwa mereka memiliki derajat lebih tinggi atas orang kulit hitam, yang notabene adalah warga asli Amerika. Mereka juga menganggap bahwa merekalah yang pantas menempati wilayah tersebut.
6. Akibat: Terjadi diskriminasi di mana korban lebih banyak terjadi pada orang kulit hitam. Orang kulit hitam juga menjadi tidak sebebas orang kulit putih dalam melakukan hal apapun di negeri itu, karena yang berkuasa adalah orang kulit putih.
7. Solusi: Dibutuhkan kesadaran yang tinggi pada orang-orang kulit putih, bahwa mereka juga sederajat dengan orang kulit hitam. Kesadaran ini sudah nampak mulai terjadi di AS, yang terbukti dengan terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden AS berkulit hitam pertama.


Tim Penyusun:
Albertus D.A (XI IPS/01)
Conrad E. (XI IPS/06)
F. Rendy A. (XI IPS/ )
L. Dadag Y. (XI IPS/ )
Y. Aditya S. (XI IPS/ )

Siapa yang Terbesar (?), Sebuah ulasan singkat mengenai Injil Markus 9:33-37

33 Kemudian tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Kapernaum. Ketika Yesus sudah di rumah, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: ”Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?” 34 Tetapi mereka diam, sebab di tengah jalan tadi mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka. 35 Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata-Nya kepada mereka: ”Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” 36 Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: 37 ”Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”


Siapa di antara kita yang tidak ingin dihormati? Siapa yang tidak ingin mendapat kekuasaan, kemampuan dan hak untuk memerintah, dan disegani oleh banyak orang? Saya kira jarang orang jaman sekarang yang tidak menginginkan hal-hal tersebut. Itu normal dan wajar, tak perlu disalahkan. Kebanyakan orang justru merasa perlu berebut untuk mendapatkan posisi penting yang berkuasa dan disegani.
Di mana-mana orang bekerja keras demi status sosial yang lebih tinggi. Di manapun dan kapanpun, orang berusaha tampil sebaik mungkin, dengan pakaian indah dan mewah segala macam. Itu normal, karena umumnya mereka lebih dihormati daripada orang lain. Lagipula lihatlah, sudah sejak dulu ”tradisi” seperti itu telah muncul. Jauh sebelum masehi, manusia sudah memiliki kecenderungan untuk mencari kehormatan, kekuasaan, dan kedudukan.
Pandangan dan kecenderungan yang demikian justru dikritik dan dibalik oleh Yesus. Karena ”tradisi” masyarakat dunia kebanyakan yang sedemikian rupalah yang membuat seringnya Yesus menegaskan pentingnya kerendahan hati dan pelayanan. Maka ketika Yesus tahu bahwa para murid-Nya juga mempermasalahkan kekuasaan, ia mengkritik mereka semua. Konsep yang dimiliki para murid adalah konsep duniawi. Ke-Mesias-an Yesus juga dipahami secara duniawi. Jadi mereka merasa perlu berebut untuk mendapatkan posisi yang penting di samping Yesus. Yesus pun bertanya dengan berpura-pura tak tahu apa yang mereka perbincangkan. Itu membuat pertanyaan-Nya menimbulkan kerepotan dan kecemasan tersendiri bagi para murid. Mengaku dengan jujur, terlalu memalukan. Maka mereka pun diam.
Yesus juga tidak marah kepada murid-murid-Nya. Ia memahami apa yang mereka ributkan. Apa yang Yesus ajarkan dan contohkan selama ini belumlah cukup untuk mengubah pola pikir murid-murid-Nya. Yesus berkata, "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya." Menjadi yang terbesar bukanlah suatu hal yang salah. Masalahnya, motivasinya yang harus diubah. Selama ini kita berpandangan bahwa menjadi yang terbesar berarti dilayani, mendapat fasilitas, memiliki kekuasaan untuk memerintah dsb. Mereka menguasai dan menggunakan segala sesuatu untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebaliknya, menjadi yang terbesar dan terutama dalam rangka mengikut Yesus berarti melayani, memperhatikan, dan berkarya bagi orang lain. Hal ini jauh dari pikiran untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri.
Cobalah amati cerita ini: Di Yunani ada cerita tentang seorang Sparta bernama Paedaretos. Tiga ratus orang akan dipilih untuk berperang dan Paedaretos adalah salah satu calonnya. Ketika diumumkan, ternyata namanya tidak tercantum. Salah seorang kawannya berkata, "Saya menyesal karena kamu tidak terpilih. Rakyat semestinya sudah tahu bahwa kamu sudah menunjukkan diri sebagai seorang pejabat negara yang bijaksana." Kata Paedaretos, "Saya senang bahwa di Sparta ada 299 orang yang lebih baik dibandingkan saya. "
Dalam cerita ini kita bertemu dengan seorang yang menjadi legenda karena ia siap untuk memberikan tempat pertama kepada orang lain dan sama sekali tidak merasa sakit hati. Cerita ini berbicara tentang kesediaan diri untuk tidak menganggap dirinya paling penting dan pantas untuk menduduki jabatan tertentu, juga kesediaan diri untuk melihat orang lain menjadi yang terpilih.
Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah. Seorang anak (yang juga masih jernih, polos, dan baik) dijadikan contoh untuk menjelaskan arti ungkapan yang terakhir dari semuanya, pelayan dari semuanya. Ia sama sekali tidak mempunyai pengaruh dan jarang diperhatikan. Ia dipandang tidak dapat memberikan kontribusi bagi kesuksesan seseorang. Sikap Yesus terhadap anak-anak mengingatkan kita akan perhatian-Nya yang serupa pada para pendosa, pemungut cukai, dsb. Kerajaan Allah dikaruniakan kepada orang-orang yang diabaikan, ditindas, dan tidak ada yang membela. Di sini Yesus juga menegaskan adanya kesamaan antara anak dengan diri-Nya. Menyambut anak bukan hanya suatu sikap batin belaka, tetapi tindakan konkret mirip ”menerima sebagai tamu terhormat”. Menyambut Yesus itu seperti menyambut seorang anak kecil yang berarti siap menyambut dan melayani siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Kehadiran murid-murid Yesus adalah untuk melayani dan memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Kehadiran gereja adalah untuk membantu masyarakat yang memerlukan bantuan. Kita tidak boleh menghindarkan diri dari orang-orang yang membutuhkan bantuan kita walaupun memang lebih mudah menjalin hubungan dengan orang orang yang bisa membantu kita.
Marilah kita hening sejenak.. Tuhan Allah yang mahakuasa, curahkanlah rahmat-Mu yang melimpah kepada kami supaya kami pun dapat mencontoh apa yang telah dilakukan putera-Mu yang terkasih Tuhan kami Yesus Kristus. Semoga kami dapat menjadi semakin dewasa, tidak diwarnai pola pikir dunia, memurnikan ambisi, rendah hati dan berani untuk dianggap tidak penting, seperti layaknya seorang anak kecil.
Kemuliaan kepada Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus, seperti pada permulaan sekarang, selalu dan sepanjang segala abad. Amin.

The End of Majapahit and Buddhism

Peninggalan budaya yang sarat dengan unsur Budha pada jaman Kerajaan Majapahit masih dapat ditemukan hampir di seluruh Nusantara. Dan karena Kerajaan Majapahit beraliran Budha, maka tak heran jika situs-situs peninggalannya juga sarat dengan unsur Budha. Namun toh pada akhirnya budaya itu tergantikan dengan budaya lain, yakni budaya agama Islam. Bagaimana agama Budha yang demikian besar dan berkembang di jaman Majapahit akhirnya mengalami kemunduran, hingga akhirnya lenyap tidak dikenal sama sekali untuk sekian lama?
Suatu agama akan berkembang menjadi besar jika didukung oleh beberapa hal penting. Hal tersebut antara lain:
1. didukung oleh raja. Jika seorang raja atau pemimpin negara lain memeluk suatu agama, maka secara otomatis agama tersebut akan menjadi agama negara. Kegiatan keagamaan juga akan semakin ramai. Jika tidak didukung oleh raja, maka keberadaan Candi Borobudur dan Candi Prambanan tidak akan ada.
2. ditangani oleh kaum profesional (tokoh) agama. Sebagai ahli dan pelaku suatu agama, waktu, pikiran, ucapan, dan tindakan sepenuhnya tercurah untuk kemajuan agamanya.
3. tingkat kemakmuran dan kerelaan umat. Jika dua hal itu cukup, pengadaan sarana dan prasarana demi pengembangan keagamaan akan terwujud dengan mudah.
4. tingkat keimanan cukup mantap, tidak mudah terpengaruh atau pindah agama.

Jika dicermati, agama Budha pada jaman Majapahit menjadi besar karena terpenuhinya hal-hal tersebut. Raja, pejabat tinggi negara, dan rakyatnya menganut cara berpikir Budhis dan beragama Budha. Sementara itu agama Budha di Indonesia sekarang dalam kondisi baik dan aman, karena sah dan dilindungi Undang-Undang. Tetapi kegiatan keagamaan terkesan tersendat-sendat karena belum ditangani oleh kaum profesional. Hal ini berakibat perhatian dan pencurahan energi, serta pemikiran yang masih harus dibagi dengan tanggung jawab kebutuhan lain.
Namun yang terjadi ketika Majapahit memasuki masa-masa kemundurannya adalah yang sebaliknya. Petinggi-petinggi negara beralih agama, para tokoh agama menyimpang dari haluan, tingkat kesejahteraan rakyat tidak mendukung, diikuti dengan goyahnya keimanan, membuat agama semakin lama semakin ditinggalkan. Maka secara tidak langsung kerajaan Majapahit pun terpengaruh dengan mulai menurunnya kekuatan dan kekuasaan.
Hal lain yang menjadi sebab memudarnya budaya Budah adalah ketika Raja Brawijaya V menikah dengan Putri Campa (China). Mereka kemudian memiliki keturunan yang bernama Raden Babah Patah (Raden Patah). Sejak kecil Raden Patah dididik oleh Raja Ariyodamar di Palembang, Sumatera, yang telah menganut agama lain. Jadi Raden Patah tidak diajarkan agama Budha sampai menjadi besar dan kembali ke tanah Jawa.
Brawijaya kemudian menerimanya dan memberi wilayah kekuasaan untuk dibuka menjadi kerajaan baru. Wilayah tersebut dibangun hingga sedemikan rupa oleh Raden Patah beserta guru-guru spiritualnya, yakni para wali (baca: WaliSanga). Dan jadilah kerajaan baru beraliran Islam di Demak, Jawa Tengah. Demi kepentingan tertentu, guru-guru spiritualnya mendesak Raden Patah sebagai Raja Kerajaan Demak untuk segera mereformasi Majapahit dan mengganti agama resmi. Dan usaha tersebut akhirnya berhasil memaksa Raden Patah untuk mendesak Brawijaya, ayahnya, agar mereformasi Majapahit. Tentu saja Brawijaya menolak desakan Raden Patah.
Suatu saat, kerajaan Majapahit didatangi pasukan tentara dari Demak dengan tujuan mereformasi Majapahit. Prabu Brawijaya sebagai orangtua tentu berpikir panjang, apakah dia harus berperang dengan sang anak. Dia sebagai orangtua sudah rela kurang makan-minum, kurang tidur, asal anak bahagia. Maka meskipun kerajaan dalam keadaan bahaya, Brawijaya memilih pergi meninggalkan kerajaan menuju Blambangan, daripada harus berperang dengan sang anak. Jadi kerajaan Majapahit saat itu bukan diambil alih dengan peperangan atau perundingan, melainkan ditinggal pergi oleh rajanya. Akhirnya Raja Demak berhasil merebut istana kerajaan Majapahit. Namun misinya belum dianggap sukses karena Brawijaya belum berpindah agama.
Di Blambangan, Prabu Brawijaya ditemui Raden Sahid Sunan Kalijaga untuk membujuk dan merayu, juga memohon agar Brawijaya bersedia kembali ke Majapahit dan berpindah agama. Brawijaya bersedia kembali ke Majapahit demi sang anak, bukannya kerajaan, sehingga perpindahan agama tetap tak dilakukan. Dialog berlangsung terlampau lama dan tak kunjung menemui jalan keluar. Sabdopalon dan Noyoginggong (kurang lebih artinya adalah bhikkhu), dua penasihat spiritual Brawijaya mengambil alih dialog. Akhirnya Sabdopalon, Noyoginggong, dan Sunan Kalijaga berdebat seru mengadu ilmu dan kesaktian.
Untuk membuktikan bahwa misi baru tersebut hebat, Sunan Kalijaga mengambil air untuk mencuci muka. Begitu tangannya menyentuh air, air tersebut menjadi berbau wangi. Untuk menandai kejadian ajaib itu, maka tempat itu dinamakan Banyuwangi.
Akhirnya dicapailah kesepakatan bahwa Brawijaya beserta yang lainnya beranjak dari Blambangan menuju Majapahit. Ketika beristirahat di suatu tempat, perundingan pun dilanjutkan kembali. Sabdopalon dan Noyoginggong tak bisa tinggal diam menerima keajaiban air wangi tersebut. Mereka ingin menguji sampai kapan air tersebut mampu bertahan wangi. Ternyata air wangi tersebut tidak bertahan lama, dan justru berubah menjadi berbau busuk dan banger.
Sementara itu Prabu Brawijaya menyatakan bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan Majapahit dan juga berganti agama. Itu semua dilakukan karena kasih sayangnya kepada sang anak yang sangat besar. Semua rela dilakukannya asalkan tidak terjadi pertumpahan darah yang sia-sia.
Mendengar perkataan sang raja, Sabdopalon dan Noyoginggong memutuskan untuk pergi dan tidur, sampai agama Budha muncul kembali. Dan untuk memberi saksi harumnya air wangi menjadi berbau busuk dan banger, tempat itu diberi nama Jember. Dengan demikian, berakhirlah masa kejayaan Kerajaan Majapahit dan muncullah Kerajaan Demak Bintoro yang be

Salah Kaprah

Pengantar
Pernahkah anda mendengar seseorang berkata,”Silahkan semuanya maju ke depan”? Tahukah anda, bahwa kalimat tersebut sebenarnya salah menurut bahasa Indonesia yang baik dan benar? Namun kita seakan tak menganggap bahwa itu salah. Mungkin karena sudah terlalu biasa terdengar di telinga kita, sehingga kita tak mengira bahwa itu salah. Dalam tata bahasa, hal demikian dinamakan Salah Kaprah.
Salah kaprah dapat terjadi, bahkan sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya dalam hal bahasa. Sangat disayangkan, kita melakukan sesuatu yang salah, tanpa sadar bahwa apa yang kita lakukan itu salah. Percaya atau tidak, kelakuan yang demikian dapat menjadikan seseorang tidak peduli, atau bahkan tidak tahu lagi bagaimana aturan atau hukum yang sebenarnya.
Dalam hal bahasa, mungkin masalah dan akibat yang timbul tidak sebesar masalah dan akibat dalam hal lain, apalagi dalam bahasa lisan. Dalam bahasa lisan, pesan dapat dipahami dengan cepat dan mudah dipahami karena mereka yang berkomunikasi melengkapinya dengan bahasa tubuh. Dalam bahasa tulis, salah kaprah masih bisa dibendung dengan adanya hukum dan aturan baku yang menjadi rambu-rambu. Hal-hal tersebut sebaiknya menjadi pedoman dalam berbahasa, supaya pesan yang disampaikan dapat dipahami dan tidak menimbulkan arti ganda.

Landasan Teori
Salah kaprah adalah istilah yang diambil dari bahasa Jawa. “Kaprah” itu berarti sesuatu yang biasa. Salah kaprah dalam kebahasaan diartikan sebagai salah atau kesalahan yang sudah umum, sehingga karena sudah terbiasa dengan yang salah seperti itu, orang tidak lagi merasakan bahwa itu salah.
Dalam hidup sehari-hari, salah kaprah lebih sering kita jumpai dalam bahasa lisan, meskipun ada juga dalam bahasa tulis. Kadang-kadang lahir susunan kalimat yang kacau karena si pembicara atau penulis kurang menguasai aturan penyusunan kalimat yang baik. Kesalahan itu kemudian sering terjadi, tidak hanya sekali. Akibatnya, kalimat yang salah itu terasa seolah-olah sudah benar, dan karena itu dipakai terus-menerus. Kesalahan seperti inilah yang disebut salah kaprah.
Dalam kesempatan ini, penulis lebih tertarik untuk membahas salah kaprah dalam bahasa tulis. Namun baiklah penulis juga menyertakan beberapa contoh salah kaprah dalam bahasa lisan, meskipun tidak disertai dengan analisis dan pembahasannya.
Contoh salah kaprah dalam bahasa lisan:
1. ”Segeralah kamu naik ke atas!”
2. ”....waktu dan tempat kami persilahkan.”
3. ”Dik, cepat buatkan bapak kopi!”
4. ”Siapa yang bisa memanjat kelapa?”
5. dan masih banyak lagi.

Masalah dan Analisis
1. Salah kaprah terjadi ketika seseorang tidak dapat memaknakan dengan baik ”Hukum Diterangkan Menerangkan” (DM), yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Contoh yang sudah familiar di telinga kita adalah ”polisi wanita”. Berikut pembahasannya.
a. Berdasarkan hukum DM, polisi wanita adalah polisi yang mengurusi wanita, atau polisi yang berkaitan dengan urusan wanita. Ini sama halnya dengan polisi lalu lintas (polisi yang mengurusi lalu lintas), polisi pariwisata (polisi yang mengurusi pariwisata), polisi pamongpraja (polisi yang mengawasi dan mengamankan keputusan pemerintah di wilayahnya), dan sebagainya.
b. Pada kenyataannya, istilah polisi wanita tentu tidak diartikan secara tepat seperti yang dijelaskan pada poin a. ”Polisi wanita” justru digunakan untuk menunjuk wanita atau himpunan wanita yang bertugas sebagai polisi. Pengartian demikian semakin menjadi ketika tidak ada seorang lelaki pun di kalangan ini.
c. Jika memang digunakan untuk menunjuk wanita atau himpunan wanita yang bertugas sebagai polisi, seharusnya digunakan kata ”wanita polisi” atau ”korps wanita polisi”, dan bukan ”polisi wanita” atau ”korps polisi wanita”.
d. Istilah serupa sudah digunakan pada tubuh TNI seperti misalnya, KOWAD (Korps Wanita Angkatan Darat), KOWAL (Korps Wanita Angkatan Laut), KOWAU (Korps Wanita Angkatan Udara).
e. Kita bisa membandingkannya dengan frase ”pengusaha wanita”. Berdasarkan hukum DM, pengusahan wanita adalah seseorang yang mengusahakan wanita. Kenyataannya, arti tersebut tidak sejalan dengan arti yang diinginkan orang-orang dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin yang dimaksud adalah ”wanita pengusaha”. Wanita pengusaha adalah wanita yang bertugas atau bekerja sebagai pengusaha. Dalam kehidupan sehari-hari, wanita pasti akan merasa lebih terhormat sebagai wanita pengusaha daripada pengusaha wanita.
2. Salah kaprah juga terjadi karena ketidaktaatan atau ketidakkonsistenan terhadap hukum DM. Contoh yang juga sudah familiar adalah sepakbola dan bulutangkis. Berikut pembahasannya.
a. Selama ini sepakbola dan bulutangkis termasuk jenis olahraga. Dari segi makna berdasarkan hukum DM, sepakbola sebenarnya lebih tepat dikategorikan sebagai jenis olahraga daripada bulutangkis.
b. Kata sepakbola merujuk pada gerakan menyepak bola (aktifitas  olahraga), sedangkan bulutangkis merujuk pada barang (berupa shuttlecock) yang ditangkis (bukan aktifitas  bukan olahraga).
3. Salah kaprah berikutnya berkaitan dengan penamaan lembaga yang tidak mencerminkan tugasnya. Sebagai contoh yaitu Badan Narkotika Nasional. Berikut pembahasannya.
a. Sadar atau tidak, nama ini sebenarnya tidak tepat untuk menyebut lembaga yang bertugas mengendalikan atau memberantas penyalahgunaan narkotika. Nama yang tepat untuk lembaga yang tugasnya seperti ini adalah misalnya: Badan Pengendalian Narkotika Nasional atau Badan Antinarkotika Nasional, dsb.
b. Coba bandingkan dengan nama-nama lembaga lain seperti, Komisi Pemberantasan Korupsi (yang bertugas memberantas korupsi), Badan Pengawasan Obat dan Makanan (yang bertugas mengawasi keamanan atau menguji kandungan unsur dalam obat dan makanan), Badan Kepegawaian Negara (yang mengurusi seluk beluk administrasi pegawai negara), dan Badan Pengawasan Daerah (yang bertugas mengawasi kinerja pegawai di daerah)
4. Penggunaan istilah yang maknanya tidak logis juga merupakan salah kaprah. Contoh: Memasak nasi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan istilah tersebut. Sebenarnya kita tak pernah memasak nasi. Yang kita masak adalah beras, yang dimasak agar empuk atau menjadi nasi dan bisa dimakan. ”Memasak nasi” hanya tepat digunakan untuk pekerjaan memanaskan nasi yang sudah dingin atau sudah tidak begitu enak untuk dimakan.
5. Selain istilah yang tidak logis, kalimat dengan makna yang tidak logis pun termasuk salah kaprah. Contoh: Dalam razia terakhir, banyak pelanggar lalu lintas dikenakan denda.
a. Sepintas kalimat tersebut memang benar, tapi jika diperhatikan lebih jauh, kalimat tersebut tidaklah logis.
b. Ketidaklogisan makna kalimat dapat dirasakan, setelah susunan kalimat diubah dari pasif ke aktif. Maka, kalimat aktifnya adalah: Dalam razia terakhir, denda mengenakan banyak pelanggar lalu lintas. Tidak logis bukan?
c. Coba bandingkan kalimat itu dengan beberapa kalimat berikut:
i. Dalam razia terakhir, denda dikenakan (oleh polisi) kepada banyak pelanggar lalu lintas.
ii. Dalam razia terakhir, banyak pelanggar lalu lintas dikenai denda (oleh polisi).
d. Makna kalimat dua terakhir ini pasti lebih logis daripada makna kalimat sebelumnya.

Penutup
Indonesia memiliki bahasa Indonesia sebagai resmi, maka hendaknya kita menggunakannya dengan baik dan benar. Pada kenyataannya terdapat banyak sekali kesalahan dalam penggunaan bahasa Indonesia. Namun sayangnya, kita terlanjur nyaman dengan kesalahan-kesalahan yang terjadi, sehingga tidak terganggu karenanya. Dalam hal ini, penggunaan kata ”polisi wanita” menjadi contoh.
Dalam hidup sehari-hari, kita bisa menjumpai banyak sekali kesalahan yang sudah kaprah (sudah biasa) dalam bahasa lisan. Kadang-kadang lahir susunan kalimat yang kacau karena si pembicara kurang menguasai aturan penyusunan kalimat dengan baik. Biasanya kesalahan itu tidak terjadi hanya sekali saja, melainkan terjadi terus menerus dan berulang-ulang. Hal ini menyebabkan kata atau kalimat yang salah tersebut dirasa sudah benar karena dipakai terus menerus dan tak ada yang memprotes.

Senin, 01 Maret 2010

Reduplikasi: Arti dan Contoh

• Pengertian:
Adalah pengulangan seluruh/sebagian kata dengan atau tidak disertai awalan/akhiran. Proses reduplikasi ini menghasilkan kata ulang, dan kata ulang ini mempunyai ciri-ciri tersendiri yang bisa disebut kata ulang.
• Ciri-ciri umum:
o Menimbulkan makna gramatis.
o Terdiri lebih dari satu morfem (Polimorfemis).
• Ciri-ciri khusus:
1. Selalu memiliki bentuk dasar dan bentuk dasar kata ulang dan dapat dipakai dalam konteks kalimat sehari-hari.
Contoh:
Kata Ulang Bentuk Dasar
Mengata-ngatakan Mengatakan, bukan mengata
Menyatu-nyatukan Menyatukan, bukan menyatu (sebab tidak sama dengan kelas kata ulangnya)
Melari-larikan Melarikan, bukan melari
Mempertunjuk-tunjukan Mempertunjukkan, bukan mempertunjuk
Bergerak-gerak Bergerak, bukan gerak (sebab kelas katanya berbeda dengan kata ulangnya)
Berdesak-desakkan Berdesakan, bukan berdesak

2. Ada hubungan semantis atau hubungan makna antara kata ulang dengan bentuk dasar. Arti bentuk dasar kata ulang selalu berhubungan dengan arti kata ulangnya.
Contoh:
 Bentuk alun bukan merupakan bentuk dasar dari kata alun-alun.
 Bentuk undang bukan merupakan bentuk dasar dari kata undang-undang.
3. Pengulangan tidak mengubah golongan atau kelas kata. Jika kata ulang itu merupakan kata benda, bentuk dasarnya pun berkelas kata benda. Jika kata ulang itu berkelas kata kerja, bentuk dasarnya juga berkelas kata kerja. Dapat dikatakan jenis kata kata ulang sama dengan bentuk dasarnya.
Contoh:
Kata Ulang Bentuk Dasar
Gedung-gedung (kata benda) Gedung (kata benda)
Sayur-sayuran (kata benda) Sayur (kata benda)
Membaca-baca (kata kerja) Membaca (kata kerja)
Berlari-lari (kata kerja) Berlari (kata kerja)
Pelan-pelan (kata sifat) Pelan (kata sifat)
Besar-besar (kata sifat) Besar (kata sifat)
Tiga-tiga (kata bilangan) Tiga (kata bilangan)

• Jenis-jenis reduplikasi:
a) Fonologis : pengulangan unsur fonologis, yaitu fonem, suku kata atau bagian kata yang tidak ditandai perubahan makna. Contoh: lelaki, pipi, kuku  tidak ditandai perubahan makna seperti pada gramatikal.
b) Gramatikal : pengulangan fungsional suatu bentuk dasar yang mencakup reduplikasi morfologis dan sintaksis.
c) Morfologis : pengulangan morfem yang menghasilkan kata. Contoh: membesar-besarkan, rumah-rumah
d) Sintaksis : pengulangan yang ada karena tuntutan kaidah sintaksis (menghasilkan klausa), seperti pembentukan keterangan. Contoh : jauh-jauh  walaupun jauh
e) Idiomatis : pengulangan yang maknanya tidak dapat dijabarkan dari bentuk yang diulang. Contoh : mata-mata  detektif (tidak ada hubungannya dengan mata.
f) Antisipatonis : pengulangan yang terjadi karena si pemakai bahasa mengantisipasi bentuk yang akan diulang. Prosesnya ke depan, berlawanan dengan konsekuetif. Contoh : tembak-menembak
g) Konsekuetif : pengulangan yang terjadi karena si pemakai bahasa mengungkapkan lagi bentuk yang sudah diungkapkan. Prosesnya terjadi ke depan. Contoh : menembak-nembak.
h) Non-idiomatis : pengulangan yang maknanya jelas dari bagian yang diulang maupun prosesnya. Contoh : kertas-kertas  banyak kertas.

• Selain itu, reduplikasi juga bisa dibagi berdasarkan proses pengulangannya:
1. Kata ulang utuh, adalah kata ulang yang diulang secara utuh. Contoh: gedung + { R } = gedung-gedung.
2. Kata ulang sebagian, adalah kata ulang yang pada proses pengulangannya hanya sebagian dari bentuk dasar saja yang diulang. Contoh: berjalan + { R } = berjalan-jalan
3. Kata ulang berimbuhan, adalah kata ulang yang mendapatkan imbuhan atau kata ulang yang telah diberi afiks. Baik itu prefiks, infiks maupun sufiks. Contoh: mobil + { R } = mobil-mobil + an = mobil-mobilan.
4. Kata ulang berubah bunyi, adalah kata ulang yangberubah bunyi dari bentuk dasarnya setelah terjadinya proses pengulangan. Contoh: sayur + { R } = sayur-mayur
Kata ulang semu, sebenarnya bukan kata ulang tetapi menyerupai kata ulang karena bentuk dasarnya sudah seperti itu. Contoh: onde-onde, kupu-kupu, gado-gado




• Makna kata ulang:
a) Menyatakan banyak tak tentu  rumah-rumah, gunung-gunung
b) Menyatakan sangat  kuat-kuat, besar-besar
c) Menyatakan saling, berbalasan, dilakukan oleh keduabelah pihak  tolong-menolong, tembak-menembak
d) Menyatakan paling/intensitas  sebaik-baiknya, setinggi-tingginya
e) Menyatakan tiruan/menyerupai  orang-orangan, rumah-rumahan
f) Menyatakan santai/senang  duduk-duduk, minum-minum
g) Menyatakan agak/dikenai sifat  kemalu-maluan, kehijau-hijauan
h) Menjatakan himpunan pada bilangan  dua-dua, lima-lima
i) Menyatakan agak (melemahkan arti)  jangan malu-malu, badan sakit-sakit
j) Menyatakan beberapa  bertahun-tahun, berhari-hari
k) Menyatakan kejadian terus-menerus  mencari-cari, bertanya-tanya
l) Menyatakan waktu  pagi-pagi, datang-datang marah
m) Menyatakan makin/bertambah  lama-lama, meluap-luap
n) Menyatakan penyebab/usaha  menahan-nahan, menguat-nguatkan

• Pembahasan kata ulang berdasarkan proses pengulangannya:
a) kata ulang semu
Kata ulang semu sebenarnya bukanlah bentuk dari proses pengulangan, karena bentuk itu sendiri sudah merupakan bentuk dasarnya. Namun kata ulang ini tetap dimasukkan dalam golongan ini karena bentuknya masih termasuk ke dalam kata ulang. Contoh: kupu-kupu
gado-gado
onde-onde
b) kata ulang berimbuhan
Dalam kata ulang berimbuhan sebenarnya yang diulang hanyalah sebagian dari bentuk dasarnya saja. Jadi, kata ulang yang terdapat afiks di dalamnya seperti berjalan-jalan, tumbuh-tumbuhan, tulis-menulis bukan merupakan kata ulang berimbuhan, tapi masuk dalam kata ulang sebagian.



Kata Ulang Bentuk Dasar
berjalan-jalan berjalan
tumbuh-tumbuhan tumbuhan
tulis-menulis menulis
Jadi kata ulang berimbuhan yang dimaksud adalah kata ulang yang mendapatkan afiks setelah proses pengulangan.
Contoh:
mobil → mobil-mobil → mobil-mobilan
gunung → gunung-gunung → gungung-gunungan
orang → orang-orang → orang-orangan
anak → anak-anak → anak-anakan
kereta → kereta-kereta → kereta-keretaan
Proses tersebut tidak dilihat dari faktor makna. Sebagai contoh: pengulangan bentuk dasar kereta menjadi kereta-kereta menyatakan makna 'banyak', sedangkan kereta-keretaan bermakna 'sesuatu yang menyerupai bentuk dasar'. Maka satu-satunya kemungkinan adalah kata kereta-keretaan terbentuk dari bentuk dasar kereta yang diulang dan mendapat afiks -an.
mobil → mobil-mobilan
gunung → gungung-gunungan
orang → orang-orangan
anak → anak-anakan
kereta → kereta-keretaan
c) kata ulang berubah bunyi
Kata ulang ini sebenarnya sangat sedikit. Di samping bolak-balik terdapat kata kebalikan, sebaliknya, dibalik, dan membalik. Dari perbandingan itu, dapat disimpulkan bahwa kata bolak-balik terbentuk dari bentuk dasar balik yang diulang seluruhnya dengan perubahan bunyi dari /a/ menjadi /o/, dan dari /i/ menjadi /a/. Contoh lain dari kata ulang berubah bunyi ini, seperti:
gerak → gerak-gerik
serba → serba-serbi
robek → robak-rabik
Di samping perubahan bunyi vokal seperti contoh di atas, terdapat pula perubahan bunyi konsonan, seperti:
lauk → lauk-pauk
ramah → ramah tamah
sayur → sayur-mayur
tali → tali-mali
Selain itu, kata-kata seperti simpang-siur, sunyi-senyap, beras petas, tidak termasuk ke dalam golongan kata ulang berubah bunyi. Kata-kata itu tidak dimasukan ke dalam golongan kata ulang berubah bunyi karena, siur bukanlah perubahan dari simpang, senyap bukan perubahan dari sunyi, dan petas bukan pula perubahan dari beras. Bentuk-bentuk seperti ini tidak termasuk dalam kata ulang berubah bunyi, tetapi bentuk-bentuk seperti itu adalah bagian dari kata majemuk yang salah satu morfemnya berupa morfem unik.
Jadi, pada kata ulang berubah bunyi ini, perubahan bunyinya tidak terlalu banyak dan bunyinya berhubungan dengan bunyi pada bentuk dasarnya.










Sumber-sumber
1) . Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Balai Pustaka. Jakarta
2) Harimurti, Kridalaksana. Kamus Linguistik. 1984. Gramedia. Jakarta
3) Ichtiar, Banu. Ensiklopedi Indonesia. 1984. Van Hoeve. Jakarta
4) www.google.com
5) www.sunarnoI.wordpress.com

Jantera Bianglala

Jantera Bianglala adalah novel ketiga dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam novel ini, Ahmad Tohari, bercerita tentang kehidupan dan perjuangan Dukuh Paruk dalam menghadapi kerasnya kehidupan setelah tertimpa “bencana”. “Bencana” tersebut memang tidak dijelaskan dalam novel ini, mengingat novel ini adalah lanjutan dari dua novel sebelumnya. Namun dari berbagai keterangan dan sumber-sumber sejarah, “bencana” tersebut adalah seputar akibat dari kejadian G30S. Dan Dukuh Paruk diduga terlibat dalam huru-hara politik tersebut.

Alur yang digunakan pada novel ini adalah alur gabungan. Alur gabungan yang dimaksud adalah alur maju-mundur-maju. Hal ini dapat kita lihat ketika peristiwa demi peristiwa terus terjadi, mengiringi Dukuh Paruk yang semakin terpuruk. Alur berubah mundur ketika tokoh yang bernama Rasus yang baru pulang dari merantau mengenang masa kecilnya di Dukuh Paruk bersama kekasihnya, Srintil yang kemudian menjadi ronggeng (dan masih banyak lagi).

Novel Jantera Bianglala diawali dengan perkenalan dan pemaparan tentang keadaan Dukuh Paruk pasca huru-hara 1965 dan diikuti dengan kembalinya Rasus dari perantauan. Introduksi ini dipilih oleh Ahmad Tohari karena dalam novel sebelumnya diceritakan perihal kejatuhan Dukuh Paruk. Dalam novel ini Ahmad Tohari lebih banyak menggambarkan tentang konflik batin para tokohnya, seperti Rasus dan Srintil. Srintil, yang baru pulang dari penjara berkomitmen tak mau lagi meronggeng dan ingin menjadi istri seorang suami seperti yang dialami perempuan lain.

Konflik semakin berkembang manakala Srintil yang situasi batinnya masih labil dihadapkan dengan sejumlah pria yang tertarik untuk meminangnya. Sebutlah tokoh seperti Marsusi, Tamir, dan Bajus. Perumitan masalah pun semakin menjadi dengan bertemunya Srintil dengan kekasihnya saat kecil, Rasus. Namun dari semuanya itu, yang terlihat menjalin hubungan begitu serius adalah Bajus. Dan Srintil mau tidak mau mengikuti dinamika kehidupan barunya bersama Bajus.

Perumitan masalah tersebut diselesaikan dengan kisah di mana Srintil pergi ke sebuah rapat bersama Bajus. Kisah ini sekaligus berperan sebagai klimaks novel ini, karena di sanalah ditentukan akhir cerita sekaligus karya trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang dapat dikatakan mengejutkan setiap pembacanya. Diceritakan bahwa Bajus tidak ingin menikahi Srintil, melainkan memanfaatkannya sebagai ”penghibur” atasannya agar dapat pekerjaan. Karena itulah lalu muncul konflik batin yang begitu besar dalam diri Srintil, hingga ia sendiri tak dapat mengatasinya, dan berakhir dengan hilangnya aspek manusiawi seorang Srintil (baca:gila).

Ahmad Tohari masih memunculkan Srintil sebagai tokoh utama dan diikuti Rasus, Bajus, Nyai Kartareja, dan beberapa tokoh lain sebagai tokoh pembantu. Kartareja, Nyai Sakarya, Sakum, dan tokoh lain berperan sebagai tokoh pembantu. Tamir, Sakarya, Goder, Tampi, dan tokoh lainnya berperan sebagai tokoh figuran.

Setting tempat yang digunakan untuk menceritakan novel ini berada di Dukuh Paruk kemungkinan besar berada di sekitar daerah Banyumas. Hal ini disebabkan oleh bahasa yang khas dialek banyumasan, dan nama seperti “Nusakambangan” sempat muncul. Sedangkan setting waktunya tidak dijelaskan secara eksplisit namun kira-kira sekitar tahun 1966-1970. Hal tersebut dibuktikan dengan pulangnya Srintil selepas tahanan, hingga tanggapan masyarakat sekitar Dukuh Paruk terhadap orang Dukuh Paruk. Suasana pedesaan yang terpencil masih tergambarkan secara eksplisit. Kemiskinan yang merajalela pun juga dipaparkan apa adanya. Kehidupan Dukuh Paruk banyak terpengaruh oleh huru-hara politik nasional, yakni peristiwa G 30 S.

Sudut pandang yang dipakai Ahmad Tohari adalah sudut pandang akuan dan diaan. Dia melakukan itu karena tidak ingin dirinya “terlibat” terlalu jauh dalam ceritanya. Namun, “aku” yang dipakai di beberapa bagian berbeda-beda. Kadang kala Rasus, kadang Srintil, atau bahkan tokoh lainnya.

Huru-hara politik saat itu sangat mempengaruhi penulisan novel ini. Ahmad Tohari, yang kala itu masih remaja, sempat menyaksikan peristiwa mengerikan tersebut. Saat itu, orang-orang yang diduga adalah PKI ditahan, atau bahkan dihabisi. Keadaan para tahanan sangat mengenaskan, terutama tahanan perempuan karena di sana mereka dianiaya dan mengalami pelecehan seksual. Hal itulah yang dialami Srintil selama dua tahun masa tahanannya walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit.

Sementara itu, pemerintah baru yang menamakan diri sebagai Orde Baru mulai melakukan pembangunan di berbagai bidang, salah satunya dengan membangun saluran irigasi di sekitar Dukuh Paruk. Dari peristiwa itulah muncul tokoh bernama Bajus.

Keadaan penulis saat itu juga mempengaruhi apa yang ditulisnya di novel ini. Kekerasan menjadi suatu hal yang akrab bagi Tohari, begitu pula ia mengungkapkannya dalam novel ini. Selain itu masih ada kemiskinan yang merajalela serta stratifikasi sosial yang membuat adanya perbedaan kelas sosial. Kehidupan yang dijalaninya di pedesaan dengan segudang pemandangan indah juga membuat Tohari memunculkan lukisan pemandangan khas pedesaan hampir di setiap awal bagian. Selain itu, kecintaannya pada motor Harley Davidson diungkapkannya dengan tokoh Marsusi yang memilikinya.

The Character Builder, Menggagas Eksistensi Sekolah sebagai Tempat Pendidikan Watak

1. Pengantar

Lewat Lectio Brevis (22/7), Rm. M. Hadisiswoyo SJ sebagai Kepala Sekolah SMA Seminari Mertoyudan menyampaikan cita-citanya akan keberadaan dan sepak terjang Seminari ini sebagai sebuah komunitas. Beliau menegaskan pentingnya Seminari sebagai The Moving School, komunitas yang selalu bergerak maju, tidak mengembara, berhenti, maupun berputar di tempat. Salah satu hal yang ingin dicapai adalah dengan menjadikan Seminari ini sebagai The Character Builder (pendidik watak).

Rektor SMA Seminari, A. Gustawan SJ dalam kesempatan yang sama juga menandaskan pentingnya seminari sebagai The Character Builder, di samping sebagai pendidikan calon imam. Salah satu hal yang diungkapkan dengan tegas dan jelas adalah dengan menjadi “Seminaris HEARS”

Kedua pemimpin tertinggi di seminari tersebut telah bekerja keras untuk merumuskan visi dan misi seminari ini sedemikian rupa. Maksud yang ingin dicapai jelas, yaitu agar para seminaris yang bersekolah di seminari ini tidak hanya menguasai kecerdasan intelektual, namun juga kecerdasan yang lain. Dengan kata lain, seminari ini diharapkan tidak hanya mampu mencetak gold yang memang sudah berupa gold, tetapi juga mengubah garbage menjadi gold. Cara yang ditempuh bervariasi, namun tetap berdasarkan visi dan misi yang telah diungkapkan dalam Lectio Brevis. Pamong Umum Seminari, P. Supriya Pr, mengungkapkan salah satu caranya yakni ”Gandrung Akan Keunggulan”. Di mana pun, kapan pun seminaris dituntut untuk gila mutu, agar dapat meraih hasil maksimal.

2. Seminari: The Character Builder

Dengan demikian, seminari ini ingin memposisikan diri sebagai alat pencetak calon imam yang berkepribadian baik, bermutu, dan cerdas dalam berbagai hal. Hal ini senada dengan arus perkembangan jaman yang cenderung tidak menjadikan intelektualitas sebagai ukuran satu-satunya mutu suatu sekolah. Dan itulah yang sekarang ini justru menjadi ukuran sekolah yang bermutu tinggi.

Sekolah yang juga mementingkan kepribadian siswanya masih relatif sulit ditemukan di negeri ini. Padahal, para pelajar, yang notebene masih remaja, menghabiskan sebagian waktunya di sekolah. Mengingat bahwa remaja masih sensitif terhadap berbagai pengaruh dari luar, maka sekolah menjadi salah satu bagian penting bagi dalam proses formatio pelajar. Berbagai pengaruh dan ajaran yang ada di sekolah bisa dilahap mentah-mentah. Mau tak mau sekolah ikut menentukan proses pencarian jati diri siswanya, mengingat bahwa frekuensi terjadinya sangat tinggi.

Seminari sendiri sebagai sekolah berasrama sudah berusaha menjadi The Character Builder sejak lama. Dan seminari sukses memanfaatkan keadaan yaitu memberikan pengaruh-pengaruh baik pada siswanya. Dengan demikian terciptalah manusia pintar nan cerdas. Maka banyak eks atau alumni seminari yang mengaku sukses dalam hidup mereka selanjutnya karena berbagai hal yang telah didapat dari seminari.

3. Pentingnya Character Building

Kita tahu dan sadar bahwa kita sebagai pelajar SMA (yang juga masih remaja) masih mencoba untuk mencari jati diri kita. Berbagai pengaruh dari luar, baik itu baik maupun buruk, bisa masuk begitu saja dan mempengaruhi kepribadian kita. Maka untuk sementara kita perlu mendapat bimbingan dalam hal ini agar tak semua pengaruh bisa masuk, paling tidak sampai kita benar-benar menemukan jati diri kita. Ada apa sich sebenarnya? Sebegitu pentingkah?

a) Arti Kepribadian (Character)

Kepribadian memang merupakan salah satu unsur penting dalam hidup. Namun jarang ada orang yang puas akan kepribadiannya. Semua pasti ingin selalu mengembangkan kepribadian masing-masing. Dan dapat dikatakan pula bahwa hampir seluruh hidup dan perbuatan kita dipengaruhi oleh kepribadian.

Kepribadian itu sendiri sulit diartikan secara pasti. Banyak sekali pengertian yang diungkapkan oleh berbagai pihak menurut pandangan dan pengalaman masing-masing seperti:

· Kumpulan sifat yang kita capai dalam proses menjadi manusia dewasa.

· Hasil karya kita sendiri, tergantung bagaimana kita mengembangkannya.

· .............(terserah, anda boleh mengartikannya menurut anda sendiri)

Manusia tersusun dari tubuh dan jiwa. Sebagai manusia, kita memiliki sifat kemanusiaan yang diberikan Tuhan, seperti tubuh, jiwa, juga berbagai kemampuan yang dapat kita lakukan. Namun hebatnya, tak ada satupun manusia dari dunia ini yang sama persis satu sama lain. Memang terkadang kita sulit mengungkapkan diri kita karenanya. Namun tak usah khawatir, semua itu membutuhkan proses. Yesus sendiri pun juga pernah bertanya pada para murid-Nya,”Tetapi apa katamu, siapakah aku ini?” (bdk. Mat 16:15).

b) Tujuan Character Building

Mungkin pernah timbul pertanyaan dalam benak kita: Mengapa aku harus menata hidupku? Mengapa aku sebaiknya mengembangkan kepribadianku? Untuk apa? Apa sich untungnya?

Sebenarnya ada alasan pokok mengapa kita perlu berbuat demikian: Ya itulah kunci untuk menjadi orang yang seimbang dan dewasa. Tujuan kita itu ya Kedewasaan.

Ingat, dewasa berbeda dengan besar atau tua. Orang yang sudah besar belum tentu dewasa. Pada umumnya, dewasa berarti seseorang yang sudah tumbuh besar sesuai dengan umurnya. Ia mampu memenuhi kebutuhannya secara wajar, bergaul dalam bermasyarakat, dan memecahkan masalah dengan baik.

Kedewasaan juga merupakan hasil usaha kita sendiri. Bagaimana seseorang mengembangkan kepribadian juga berpengaruh pada tingkat kedewasaan orang tersebut. Maka betapa pentingnya mengembankan kepribadian. Dan salah satu kunci untuk menjadi dewasa adalah perkembangan yang seimbang. Untuk itu kepribadian yang solid mutlak dibutuhkan.

4. Tindak Lanjut

Sebagai sekolah yang ingin memposisikan diri sebagai The Character Builder, seminari telah melakukan dan memperhatikan hal-hal tersebut sejak lama. Namun perlu dicermati juga tentang unsur-unsur yang berpengaruh terhadap kepribadian. Maka baik jika sekolah-sekolah, tidak hanya Seminari Mertoyudan memperhatikan berbagai hal seperti:

a. Tuhan

Tuhan telah mengutus putra-Nya yang terkasih Yesus Kristus sebagai teladan pribadi yang sempurna. Dan kasih Allah beserta dengan curahan Roh Kudus mendorong kita untuk semakin mendekati teladan itu. Maka tiap sekolah hendaknya juga menyisipkan aspek kerohanian dalam berbagai kepadatan kegiatan, tidak terlalu menyibukkan siswa dengan tugas dan targetnya.

b. Agama

Nilai-nilai iman, harapan, dan kasih yang diajarkan seluruh agama memiliki peranan yang sangat penting. Iman memberi keyakinan bahwa kepribadian ideal yang menjadi cita-cita kita adalah benar. Harapan menumbuhkan sikap optimis dalam hidup. Kasih adalah cinta, dan tanpa kemampuan untuk mengasihi dengan tulus, orang tak akan mencapai kepribadian yang dewasa.

c. Keluarga

Keluarga merupakan tempat pendidikan awal dan mendasar bagi manusia baru. Apa yang terjadi beserta pengaruh-pengaruh yang masuk akan sangat berperan. Bahkan hingga memasuki masa remaja pun keluarga tak bisa ditinggalkan dan dilupakan begitu saja. Baik secara langsung maupun tak langsung, keluarga berpengaruh besar bagi perkembangan seseorang.

d. Masyarakat

Sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa lepas dari masyarakat. Hampir setiap hari manusia berinteraksi dengan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi cara berpikir, sikap, dan juga nilai-nilai dasar hidup. Namun pengaruh yang masuk perlu dibatasi dan diseleksi. Banyaknya pengaruh buruk (terutama dari media massa) yang ditawarkan bisa merusak kepribadian kita.

e. Sekolah

Dengan banyaknya waktu yang diberikan orang untuk seolah membuat sekolah itu sendiri berperanan besar. Sekarang tinggal bagaimana sekolah itu memposisikan diri sebagai The Character Builder, dengan mengindahkan tingginya frekuensi peristiwa tersebut.

5. Kesimpulan dan Penutup

Sudah jelas bahwa sekarang ini The Character Builder harus ditegaskan. Cara yang paling efektif adalah melalui lembaga sekolah. Hal ini karena mengingat peranan sekolah yang begitu besar dalam membentuk jati diri manusia muda. Maka hendaknya pihak sekolah juga mengusahakan agar pengaruh-pengaruh yang diberikan sekolah yang bersangkutan berupa pengaruh yang baik.

Kita tahu bahwa character building bertujuan dan bermanfaat sangat baik, yaitu membentuk manusia yang tangguh dan berkompeten. Maka baik jika hal itu diadakan di sekolah-sekolah di Indonesia. Cara paling konkret yaitu dengan pengadaan mata pelajaran Kepribadian atau yang sejenisnya.

Seminari sendiri telah memproklamirkan diri sebagai The Character BuilderI. Hal ini dapat terlihat dari berbagai usaha dalam berbagai bentuk yang menunjang pembentukan jati diri manusia muda. Kita bisa menyebut seperti pengembangan diri dalam berbagai aspek, adanya pelajaran kepribadian dan moral, dan berusaha untuk menyeimbangkan berbagai aspek kehidupan.

Bukan hanya untuk seminari saja, melainkan baik jika lembaga-lembaga sejenis juga menerapkan hal yang sama. Aspek-aspek yang mempengaruhi pembentukan kepribadian (seperti kerohanian, ajaran agama, keluarga, masyarakat (sosialisasi), dan sekolah) perlu diperhatikan dengan baik. Jika itu semua berjalan dengan lancar, baik, serta penuh kejujuran, hasilnya pasti akan memuaskan. Ribuan, bahkan jutaan manusia muda Indonesia yang tangguh dan berkompeten akan tercipta. Maka mari, bersama-sama kita mewujudkan impian kita, demi bangsa dan negara Indonesia tercinta!

6. Acuan Bacaan

  1. .Tantangan Membina Kepribadian. Jakarta: Cipta Loka Caraka. 1983.
  2. Hadisiswoyo, Martinus. Seminary: The Moving Sc hool. Mertoyudan. 2008
  3. Gustawan, Antonius. Lectio Brevis Rektor Seminari Menengah Santo Petrus Canisius TA. 2008/2009. Mertoyudan.2008
  4. Supriya, Paulus. Gandrung Akan Keunggulan. Mertoyudan. 2008
  5. Ekaristianto, Conrad. Garbage In Gold Out. Mertoyudan. 2007