Senin, 26 September 2011

Especially for You :)

Especially for you
I wanna let you know what I was
Going through
All the time we were apart I thought
Of you
You were in my heart
My love never changed
I still feel the same


Especially for you
I wanna tell you I was feeling that
Way too
And if dreams were wings, you
Know
I would have flown to you
To be where you are
No matter how far
And now that Iím next to you

No more dreaming about
Tomorrow
Forget the loneliness and the sorrow
Iíve got to say
Itís all because of you

And now were back together,
Together
I wanna show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you


Especially for you
I wanna tell you, you mean all the world to me
How Iím certain that our love was
Meant to be
You changed my life
You showed me the way
And now that Iím next to you

Iíve waited long enough to find you
I wanna put all the hurt behind you
And I wanna bring out all the love
Inside you, oh and
Now were back together, together
I wanna show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you

You were in my heart
My love never changed
And now that Iím next to you
No more dreaming about
Tomorrow
Forget the loneliness and the
Sorrow
Iíve got to say
Itís all because of you

And Now were back together, together
I wanna show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you

Together, together
I wanna show you my heart is oh so true
And all the love I have is
Especially for you


by: M.Y.M.P


One Care for Friend (OREN)


Sungguh, tak ada alasan yang pasti dan kuat yang memampukanku untuk memilih berpartisipasi dalam kegiatan OREN (One Care for Friends) 2011. Yang ada justru alasan untuk tidak mengikutinya, mulai dari faktor keuangan, tugas dan kegiatan yang seolah terus beranak-pinak, hingga keluarga. Hanya karena ajakan dan dorongan dari seseoranglah, aku mulai memilih dan meyakini bahwa langkahku ini benar. Kelak aku akan merasa amat sangat menyesal dan kecewa jika aku terus menerus bertahan pada keeogisanku dengan menolak rayuannya, tanpa ada jaminan pasti tentang kesuksesan tanggung jawabku.

Ada banyak gejolak dalam diri yang mewarnai langkah-langkah awalku berinteraksi dengan anak-anak jalanan kota Semarang, fokus OREN tahun ini. Namun apapun itu, dengan hadir di sana, aku siap melaksanakan tanggung jawab dan bersedia berproses bersama anak jalanan, karena ia telah memilih. Ya, kepentingan diri dan egoisme benar-benar harus ditinggalkan, meski tak berarti dilupakan.

Mengenal Anak Jalanan
Sebelum benar-benar berinteraksi dengan anak jalanan, aku sudah memiliki beberapa pandangan dan pengetahuan –entah benar atau salah- tentang mereka. Anak jalanan adalah anak yang tinggal dan hidup di dan dari jalanan. Mereka menggantungkan kelangsungan hidupnya pada kedermawanan para pengguna jalan. Umumnya, hal itu mereka lakukan dengan mengamen, berjualan koran, mengemis, menjadi tukang parkir, tukang semir sepatu, tukang bersih kaca mobil, dsb. 80% di antaranya hidup di jalanan sebagai akibat ketidakharmonisan keluarga yang dialaminya. Dengan kata lain, ia melarikan diri dari rumah dan melanjutkan petualangan hidupnya di jalanan. Sedangkan 20% sisanya hidup di jalanan karena masalah ekonomi yang melilit keluarganya.

Secara teori, anak-anak jalanan sangat rentan terhadap hal-hal negatif yang berpotensi terjadi pada mereka. Sebut saja tindak kekerasan, eksploitasi seksual, tindak kriminal, berkenalan dengan narkotika, sakit (HIV-Aids, dsb), hingga mentalitas miskin. Hal-hal tersebut jelas memberikan ancaman yang teramat besar, terutama bagi hidup mereka di masa depan. Mengingat harapan hidup anak jalanan yang amat memprihatinkan, mimpi buruk akan hilangnya sebuah generasi gemilang anak negeri sudah di depan mata. Seburuk itukah keadaannya? Eit, nanti dulu..

Teori yang sudah teruji memang menjadi dasar acuan kita dalam memahami suatu hal. Akan tetapi, di luar sana akan selalu ada anomala, selalu ada kasus yang membutuhkan penanganan-penanganan tertentu, yang kerap kali tidak ada dalam teori. Dalam hal ini, apa yang kualami adalah hal yang berbeda dengan teori di atas.

Keadaan anak-anak jalanan yang kujumpai sebenarnya memang tidak jauh berbeda. Kegiatan mereka sehari-hari umumnya adalah mengamen, bermain-main di jalan, beberapa sekolah, beberapa lagi bekerja, kadang bahkan berlatih untuk job, yang tak jarang berasal dari luar kota. Rata-rata dari mereka berpendidikan SD, atau SMP maksimal, beberapa bahkan tidak sekolah. Mereka juga bungkam ketika ditanya tentang keluarga. Rupanya itu adalah masalah yang cukup sensitif, dan diduga karena masalah ketidakharmonisan dalam keluarganya.

Hidup di jalanan bagi mereka bukanlah sesuatu yang perlu selalu disesali, terkadang bahkan disyukuri. Dari sanalah mereka bisa menyambung hidup, berbagi bersama, dan menemukan sahabat. Meski demikian tak jarang mereka menderita karena resiko-resiko kekerasan yang selalu ada, panas terik matahari, hingga ketakutan tiada henti terhadap satpol pp.

Kehidupan anak jalanan, meski sepintas terlihat keras dan kejam, sebenarnya juga tak jauh berbeda dengan orang lain. Dalam beberapa hal, mereka justru dapat dikatakan lebih beruntung, terlebih jika dilihat dari perspektif yang berbeda. Hidup mereka lebih bebas dan lepas, seolah tanpa beban dan mementingkan kesenangan hidup (hedonis). Dalam beberapa kasus, penampilan yang nyentrik justru membuat mereka semakin bangga, karena itulah bentuk eksistensinya sebagai manusia, citra dirinya.

Mau (?)
Merasa mengenal sebagian kecil dari diri anak-anak jalanan, sebagian orang mungkin merasa enggan berinteraksi dengan mereka. Namun ada orang-orang yang dengan rendah hati mau menjadi bagian dari hidup mereka dengan melakukan sesuatu yang berguna bagi kelangsungan maupun masa depannya. Pertanyaannya, mengapa?

Adalah sebuah teori bernama “altruisme” yang berarti tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain . Alasan orang bisa sampai beranggapan seperti itu hingga akhirnya memunculkan perilaku menolong antara lain:
1. Teori Pertukaran Sosial, mengungkapkan bahwa apa yang kita lakukan harus menguntungkan, atau setidaknya memiliki hubungan timbal balik di antara kedua pihak.
2. Teori Empati, merupakan gabungan dari egoisme dan simpati. Empati adalah ikut merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaannya sendiri. Ada juga empati yang melanggar prinsip norma/keadilan, jika perbuatan menolong orang sampai mengorbankan kepentingan orang lain.
3. Teori Norma Sosial, di antaranya norma tanggung jawab sosial, yang mewajibkan menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan apapun. Dalam memberi pertolongan, seseorang juga dipengaruhi atribusi pada orang yang bersangkutan.
Dari sekian banyak teori tentang menolong, teori-teori itulah yang menurutku memampukan seseorang untuk rela berkecimpung dan mencurahkan hidupnya untuk dan bersama anak-anak jalanan.

Menjalin Persahabatan
Pengalaman berinteraksi dengan anak-anak jalanan nyata-nyata justru telah membuatku melupakan sejenak segenap tantangan dan cobaan (baca: masalah) yang kian menumpuk. Hal ini kemudian membuatku menjadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang sedang membantu dan sedang dibantu? Aku? Atau mereka? Selama ini aku mungkin hanya bisa mengeluh dan berharap semuanya (masalah, red) cepat berlalu, tanpa sempat menikmati indahnya duniaku. Mereka justru sebaliknya, amat menikmati dalam menjalani hidup yang bagiku mungkin apa adanya, tapi segalanya bagi mereka.

Demikian juga dengan mereka, yang mengaku belajar banyak dari interaksi yang terjadi di antara kami. Dari interaksi ini, aku sedikit banyak mengetahui apa yang menjadi kendala utama dalam kehidupan mereka: buruknya manajemen waktu dan uang, masalah ketergantungan yang relatif besar, dan yang pasti adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang. Lalu, kita bisa apa?

Terlalu jauh dan idealis jika aku terus memikirkan tentang nasib mereka, bagaimana mereka hidup, bersekolah mungkin, dsb. Tak bisakah aku membantu mereka, terutama sebagai mahasiswa fakultas Psikologi? Bisa! Aku bahkan bisa membantu mereka mulai dari sekarang, mulai dari yang sederhana, dan mulai dari diri sendiri. Pada dasarnya mereka butuh teman, butuh sahabat, yang akan selalu ada kapanpun mereka butuhkan. Ya, mereka butuh didampingi. Selain itu, harapan yang mereka miliki terlalu dangkal dan tidak jauh-jauh dari keadaan mereka sekarang. Sahabat juga bisa berperan sebagai motivator sekaligus inspirator, terutama dalam membangun mimpi tentang masa depan.

Akhirnya, perjumpaan dengan anak-anak jalanan membuatku semakin menyuskuri hidup. Di sisi lain, mereka telah mengajariku banyak hal berkaitan dengan menghadapi banyak masalah. Sebaliknya, aku juga berharap perjumpaan ini juga berarti bagi mereka. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian. Masih ada banyak orang yang peduli dan bersedia menjadi sahabat, menjadi “tempat sampah” mereka. Dan hubungan timbal

balik inilah yang memampukan kami, bahkan kita semua untuk bisa berkembang menjadi lebih baik lagi. Terima kasih, sahabat…

Balada Seksi Perlengkapan



“Perkap! Perkap! Tolong pataka ini sama tiang-tiangnya dibawa ke fakultas yaa… segera!”

Bergabung dalam kepanitiaan besar semodel Psychobate tak pernah kubayangkan sebelumnya. Psychobate, lomba debat antar fakultas Psikologi tingkat regional Jawa, terlaksana dan terbilang sukses, meski tetap menyimpan beberapa catatan penting yang harus dibenahi, terutama jika ingin menyelenggarakannya lagi di esok hari. Dalam lomba yang diadakan pada 3-5 Juni 2011 ini, aku bersama dengan tiga rekan lain diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai seksi perlengkapan.

Melamar untuk menjadi seksi acara, aku justru terpilih menjadi sie perkap. Seumur-umur baru kali ini aku menduduki posisi ini dalam sebuah kepanitiaan dan organisasi. Apa itu perkap? Apa pula tugas dan pekerjaannya? Hampir dalam setiap rapat, perkap mendapat kesempatan pertama untuk melaporkan perkembangan dan kondisi terkini dari job description-nya. Aku, yang minim pengalaman di bidang ini, hanya bisa termangu-mangu saat sang koordinator perkap menjawab dengan jawaban “Perkap beres!” atau “Perkap nggak ada masalah. Lanjut terus”. Jawaban yang singkat dan hampir selalu sama dalam setiap kali rapat . Sebaliknya, seksi acara hampir selalu menjadi seksi dengan laporan paling banyak dan lama dalam rapat-rapat Psychobate. Ironi? Mungkin.

Sebenarnya motivasiku untuk mendaftar menjadi panitia Psychobate pada waktu itu tidak terlepas dari euforia lanjut ke semester dua dengan indeks prestasi yang bisa membuat kedua orangtuaku tersenyum. Maklum, di semester satu memang belum banyak kegiatan yang kuikuti. Sebagai seorang remaja yang ingin eksis, didukung oleh teori Abraham Maslow tentang kebutuhan akan aktualisasi diri, motivasiku bergabung ke dalam kepanitiaan ini hanyalah sekedar ingin dikenal dan terlihat aktif. Itu saja. Kalaupun ada, motivasi yang memiliki “derajat yang lebih tinggi” adalah ingin mencari pengalaman dalam berorganisasi. Jawaban yang terbilang umum dan diplomatis.

Dangkalnya motivasi tersebut ternyata menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Dalam proses dinamika bersama itu, setidaknya ada tiga hal yang membebaniku. Pertama, aku tak tahu banyak tentang jobdes perkap. Kedua, sebelum menemui titik cerah, aku menjalani peranku dengan setengah hati, terutama karena ternyata yang kualami di perkap tidak sesuai dengan motivasiku. Ketiga, aku harus siap menghadapi rasa tidak dihargai ketika hanya menjadi backstage part. Ketiga hal tersebut, melengkapi dangkalnya motivasiku, membuatku tertatih-tatih dalam menjalankan tugas-tugas perkap. Duh duh, piyee ikii..?! kesimpulannya, aku lelah. Batinku tertekan oleh diriku sendiri. Setiap kali rapat tak dianggap , kelak hanya menjadi “pesuruh” seluruh seksi, harus usung-usung barang-barang yang dibutuhkan, baik itu menyiapkan maupun membereskan. Belum lagi jika ada suatu cacat, perkap hampir selalu menjadi kambing hitam dan dikatakan kurang cakcek. Akhirnya aku sampai pada pikiran untuk mengundurkan diri dari kepanitaan ini.

Saat itu, sekitar sebulan sebelum acara berlangsung, berlangsung rapat rutin seperti biasanya. Aku yang (masih) hanya bisa termenung, tiba-tiba teringat sebuah cerita dari seorang staff SMA-ku dulu. Seseorang membunuh kawannya sendiri dengan cara menusukkan pisau ke tubuh orang itu. Kalau begini, siapa yang pantas disalahkan? Orang itu? Ataukah pisaunya? Kedengarannya memang agak aneh, kalau tak disebut lucu. Bagaimanapun juga, yang bersalah dan bertanggung jawab pasti adalah orangnya, meskipun penyebab kematian orang tersebut adalah pisaunya. Lalu?

Jika aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepanitiaan ini, aku secara resmi menyalahkan pisaunya. Pisau itulah yang harus dihukum dan dipenjara! Padahal pisau itu tak bersalah. Yang bersalah adalah orangnya: aku. Aku membunuh diriku sendiri dengan motivasi yang dangkal, dan menyalahkan panitia sebagai biang keladinya. Tepat di saat inilah aku menemukan titik cerah. This is my point of no return. Ya, di titik ini aku telah memutuskan, dan tak bisa kembali lagi. Pilihannya hanya dua: menjadi pemenang atau menjadi pecundang.

Menyerah dan mengundurkan diri, itulah pecundang. Terus berjuang, bertahan dalam segala tekanan, itulah pemenang. Aku bangkit dan belajar untuk tetap setia dengan tugas-tugasku sebagai sie perkap. Motivasiku diperdalam dengan timbulnya ketulusan untuk melayani dengan segenap kerendahan hati disertai kesetiaan untuk mengerjakan tugas-tugas sepele. Dengan semangat dasar sesederhana namun secanggih itu, aku bangun untuk kemudian berlari dan mencetak prestasi. Ya, aku telah menjadi anggota perkap yang “baru”.

Pilihanku membuahkan hasil. Kelak selain terlaksananya tugas dengan baik, hal yang lebih kusyukuri adalah daya ubah sie perkap yang ternyata sangat dahsyat bagi perkembangan diriku. Daya ubah yang menghasilkan daya juang yang luar biasa itu muncul ketika aku menghayati tugas-tugas “kasar dan remeh” dengan sepenuh hati. Ketika disuruh mengambil ini-itu oleh seksi lain, aku belajar tentang prinsip kerendahan hati. Ketika harus berlelah-lelah mengangkat pataka, ampli, keyboard, berlari mengambil gitar, menjadi “stand microphone” dadakan, dan barang-barang lain yang umumnya lebih berat dari berat badanku, aku belajar tentang prinsip kerja keras. Ketika tak mendapatkan sedikitpun ucapan terima kasih dari panitia lain, hatiku terisi oleh prinsip kesabaran. Intinya, begitu banyak hal yang kudapatkan dari tugas “kasar” nan sepele ini. Namun semuanya bermuara pada satu hal, yaitu ketulusan untuk melayani.

Alih-alih mengalami degradasi, aku justru bertransformasi menjadi pribadi yang lebih baik lewat dinamika bersama panitia ini. Ketika orang mau melayani, maka ia akan diubah lewat pelayanannya itu. Dan ketahuilah, kesetiaan untuk menjalani tugas-tugas remeh itulah yang akan mengubah hidup.

Aku bersyukur bahwa aku boleh mengalami dinamika bersama panitia Psychobate yang luar biasa dahsyat. Tulisan ini kudedikasikan untuk segenap rekan-rekan panitia Psychobate yang mau melayani sesama dengan segenap rendah hati, yang secara menakjubkan dan gagah berani, berhasil menyenggarakan ajang terbesar sepanjang sejarah fakultas Psikologi Unika Soegijapranata. Keberhasilan yang besar muncul dari hal-hal sepele yang menjadi dasarnya.
Last but not least, do small things with great love!


Balada Seksi Perlengkapan
Ditulis Sebagai Pemenuhan Tugas Psikologi Industri dan Organisasi






Ditulis oleh:
Conrad Ekaristianto
10.40.0071

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2011