Senin, 26 September 2011

One Care for Friend (OREN)


Sungguh, tak ada alasan yang pasti dan kuat yang memampukanku untuk memilih berpartisipasi dalam kegiatan OREN (One Care for Friends) 2011. Yang ada justru alasan untuk tidak mengikutinya, mulai dari faktor keuangan, tugas dan kegiatan yang seolah terus beranak-pinak, hingga keluarga. Hanya karena ajakan dan dorongan dari seseoranglah, aku mulai memilih dan meyakini bahwa langkahku ini benar. Kelak aku akan merasa amat sangat menyesal dan kecewa jika aku terus menerus bertahan pada keeogisanku dengan menolak rayuannya, tanpa ada jaminan pasti tentang kesuksesan tanggung jawabku.

Ada banyak gejolak dalam diri yang mewarnai langkah-langkah awalku berinteraksi dengan anak-anak jalanan kota Semarang, fokus OREN tahun ini. Namun apapun itu, dengan hadir di sana, aku siap melaksanakan tanggung jawab dan bersedia berproses bersama anak jalanan, karena ia telah memilih. Ya, kepentingan diri dan egoisme benar-benar harus ditinggalkan, meski tak berarti dilupakan.

Mengenal Anak Jalanan
Sebelum benar-benar berinteraksi dengan anak jalanan, aku sudah memiliki beberapa pandangan dan pengetahuan –entah benar atau salah- tentang mereka. Anak jalanan adalah anak yang tinggal dan hidup di dan dari jalanan. Mereka menggantungkan kelangsungan hidupnya pada kedermawanan para pengguna jalan. Umumnya, hal itu mereka lakukan dengan mengamen, berjualan koran, mengemis, menjadi tukang parkir, tukang semir sepatu, tukang bersih kaca mobil, dsb. 80% di antaranya hidup di jalanan sebagai akibat ketidakharmonisan keluarga yang dialaminya. Dengan kata lain, ia melarikan diri dari rumah dan melanjutkan petualangan hidupnya di jalanan. Sedangkan 20% sisanya hidup di jalanan karena masalah ekonomi yang melilit keluarganya.

Secara teori, anak-anak jalanan sangat rentan terhadap hal-hal negatif yang berpotensi terjadi pada mereka. Sebut saja tindak kekerasan, eksploitasi seksual, tindak kriminal, berkenalan dengan narkotika, sakit (HIV-Aids, dsb), hingga mentalitas miskin. Hal-hal tersebut jelas memberikan ancaman yang teramat besar, terutama bagi hidup mereka di masa depan. Mengingat harapan hidup anak jalanan yang amat memprihatinkan, mimpi buruk akan hilangnya sebuah generasi gemilang anak negeri sudah di depan mata. Seburuk itukah keadaannya? Eit, nanti dulu..

Teori yang sudah teruji memang menjadi dasar acuan kita dalam memahami suatu hal. Akan tetapi, di luar sana akan selalu ada anomala, selalu ada kasus yang membutuhkan penanganan-penanganan tertentu, yang kerap kali tidak ada dalam teori. Dalam hal ini, apa yang kualami adalah hal yang berbeda dengan teori di atas.

Keadaan anak-anak jalanan yang kujumpai sebenarnya memang tidak jauh berbeda. Kegiatan mereka sehari-hari umumnya adalah mengamen, bermain-main di jalan, beberapa sekolah, beberapa lagi bekerja, kadang bahkan berlatih untuk job, yang tak jarang berasal dari luar kota. Rata-rata dari mereka berpendidikan SD, atau SMP maksimal, beberapa bahkan tidak sekolah. Mereka juga bungkam ketika ditanya tentang keluarga. Rupanya itu adalah masalah yang cukup sensitif, dan diduga karena masalah ketidakharmonisan dalam keluarganya.

Hidup di jalanan bagi mereka bukanlah sesuatu yang perlu selalu disesali, terkadang bahkan disyukuri. Dari sanalah mereka bisa menyambung hidup, berbagi bersama, dan menemukan sahabat. Meski demikian tak jarang mereka menderita karena resiko-resiko kekerasan yang selalu ada, panas terik matahari, hingga ketakutan tiada henti terhadap satpol pp.

Kehidupan anak jalanan, meski sepintas terlihat keras dan kejam, sebenarnya juga tak jauh berbeda dengan orang lain. Dalam beberapa hal, mereka justru dapat dikatakan lebih beruntung, terlebih jika dilihat dari perspektif yang berbeda. Hidup mereka lebih bebas dan lepas, seolah tanpa beban dan mementingkan kesenangan hidup (hedonis). Dalam beberapa kasus, penampilan yang nyentrik justru membuat mereka semakin bangga, karena itulah bentuk eksistensinya sebagai manusia, citra dirinya.

Mau (?)
Merasa mengenal sebagian kecil dari diri anak-anak jalanan, sebagian orang mungkin merasa enggan berinteraksi dengan mereka. Namun ada orang-orang yang dengan rendah hati mau menjadi bagian dari hidup mereka dengan melakukan sesuatu yang berguna bagi kelangsungan maupun masa depannya. Pertanyaannya, mengapa?

Adalah sebuah teori bernama “altruisme” yang berarti tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain . Alasan orang bisa sampai beranggapan seperti itu hingga akhirnya memunculkan perilaku menolong antara lain:
1. Teori Pertukaran Sosial, mengungkapkan bahwa apa yang kita lakukan harus menguntungkan, atau setidaknya memiliki hubungan timbal balik di antara kedua pihak.
2. Teori Empati, merupakan gabungan dari egoisme dan simpati. Empati adalah ikut merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaannya sendiri. Ada juga empati yang melanggar prinsip norma/keadilan, jika perbuatan menolong orang sampai mengorbankan kepentingan orang lain.
3. Teori Norma Sosial, di antaranya norma tanggung jawab sosial, yang mewajibkan menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan apapun. Dalam memberi pertolongan, seseorang juga dipengaruhi atribusi pada orang yang bersangkutan.
Dari sekian banyak teori tentang menolong, teori-teori itulah yang menurutku memampukan seseorang untuk rela berkecimpung dan mencurahkan hidupnya untuk dan bersama anak-anak jalanan.

Menjalin Persahabatan
Pengalaman berinteraksi dengan anak-anak jalanan nyata-nyata justru telah membuatku melupakan sejenak segenap tantangan dan cobaan (baca: masalah) yang kian menumpuk. Hal ini kemudian membuatku menjadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang sedang membantu dan sedang dibantu? Aku? Atau mereka? Selama ini aku mungkin hanya bisa mengeluh dan berharap semuanya (masalah, red) cepat berlalu, tanpa sempat menikmati indahnya duniaku. Mereka justru sebaliknya, amat menikmati dalam menjalani hidup yang bagiku mungkin apa adanya, tapi segalanya bagi mereka.

Demikian juga dengan mereka, yang mengaku belajar banyak dari interaksi yang terjadi di antara kami. Dari interaksi ini, aku sedikit banyak mengetahui apa yang menjadi kendala utama dalam kehidupan mereka: buruknya manajemen waktu dan uang, masalah ketergantungan yang relatif besar, dan yang pasti adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang. Lalu, kita bisa apa?

Terlalu jauh dan idealis jika aku terus memikirkan tentang nasib mereka, bagaimana mereka hidup, bersekolah mungkin, dsb. Tak bisakah aku membantu mereka, terutama sebagai mahasiswa fakultas Psikologi? Bisa! Aku bahkan bisa membantu mereka mulai dari sekarang, mulai dari yang sederhana, dan mulai dari diri sendiri. Pada dasarnya mereka butuh teman, butuh sahabat, yang akan selalu ada kapanpun mereka butuhkan. Ya, mereka butuh didampingi. Selain itu, harapan yang mereka miliki terlalu dangkal dan tidak jauh-jauh dari keadaan mereka sekarang. Sahabat juga bisa berperan sebagai motivator sekaligus inspirator, terutama dalam membangun mimpi tentang masa depan.

Akhirnya, perjumpaan dengan anak-anak jalanan membuatku semakin menyuskuri hidup. Di sisi lain, mereka telah mengajariku banyak hal berkaitan dengan menghadapi banyak masalah. Sebaliknya, aku juga berharap perjumpaan ini juga berarti bagi mereka. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian. Masih ada banyak orang yang peduli dan bersedia menjadi sahabat, menjadi “tempat sampah” mereka. Dan hubungan timbal

balik inilah yang memampukan kami, bahkan kita semua untuk bisa berkembang menjadi lebih baik lagi. Terima kasih, sahabat…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar