Senin, 01 Maret 2010

(Tak) Seperti Sampah

Sekolah hampir digolongkan menjadi barang mewah oleh banyak orang, yang kebanyakan merupakan kalangan menengah ke bawah. Bagaimana tidak, di tengah harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik, orang hampir tak sempat lagi memikirkan pendidikan (mahal) anak-anak mereka.

Maka, betapa kaget dan mengecewakan ketika orang-orang yang mampu mengecap nikmatnya pendidikan justru terkesan menyia-nyiakan kesempatan mereka. Sungguh sangat disayangkan, mereka –yang katanya kaum terpelajar- menggunakan kecerdasan yang mereka dapat untuk memperdayai orang lain dan mengkritik kebijakan pemerintah habis-habisan dengan demonstrasi.

Banyak sekali demonstrasi yang terjadi di era reformasi yang berakhir dengan kekerasan. Dan itu hampir seluruhnya dilakukan oleh pelajar, yang umumnya adalah mahasiswa. Bukan menjadi berita baru jika tersiar kabar bahwa pelajar bunuh diri karena berbagai hal. Hampir setiap hari kita mendengar berita yang berkaitan dengan pelajar, termasuk biaya sekolah yang kelewat mahal. Bahkan sempat muncul pemikiran bahwa sekolah sebaiknya dibubarkan saja. Karena dengan sekolah justru dihasilkan pribadi-pribadi yang cenderung emosional, mudah berkelahi dan berperang, ceroboh, juga sulit menghargai orang yang berbeda pendapat.

Seperti Sampah

Sampah adalah segala sesuatu yang sudah tidak bisa dipakai untuk membantu kehidupan manusia. Ketika kita membuang sesuatu -yang kita anggap sebagai sampah- berarti kita menciptakan limbah. Apapun yang kita buang menciptakan banyak limbah, merusak lingkungan kita, dan bisa membahayakan lingkungan hidup.

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di Indonesia -yang berarti semakin banyak sampah tercipta- pemerintah semakin kewalahan dalam menghadapi masalah sampah. Padahal kita tidak harus membuang sampah melainkan bisa mendaur ulangnya. Artinya, memakai barang lama untuk membuat barang baru. Apapun wujudnya, sampah yang kita buang mengandung bahan-bahan yang bisa kita pakai kembali. Tergantung bagaimana kreativitas kita menghadapi berbagai macam jenis sampah tersebut.

Masalah sampah ternyata juga merembet ke dunia pendidikan. Tidak adanya pendaur ulang membuat Indonesia dipenuhi sampah, yang tercipta karena berbagai sebab. Sampah itu merusak lingkungan kita, bahkan juga mengacaukan kehidupan sehari-hari masyarakat pada umumnya. Seperti pada sampah yang sesungguhnya, sampah ini juga tak mampu diatasi dengan baik oleh pemerintah.

Betapa tidak enaknya menjadi sampah, apalagi sampah di negara-negara berkembang. Sampah dibiarkan begitu saja, dijauhi, dicampakkan, dilokalisasikan, dan akhirnya dibenci setiap orang. Hal serupa juga terjadi pada manusia. Manusia di negara berkembang banyak yang menjadi korban sistem pendidikan yang morat-marit. Akhirnya formatio mereka tidak seimbang: intelektualitas berkembang pesat sementara sisi afeksi tenggelam begitu dalam. Maka terciptalah manusia yang pintar (mungkin) namun tidak cerdas.

Lain lagi di negara maju. Kreativitas tinggi yang mereka miliki membuat berbagai jenis sampah bisa dimanfaatkan. Begitu juga dengan manusianya. Pendidikan mereka mengusung dua pilar utama yakni segi intelektual dan afeksi. Maka terciptalah manusia yang pintar sekaligus cerdas. Tidaklah mengherankan bahwa pemerintah mampu menekan masalah sosial yang mewabah di negara-negara berkembang. Setiap individu mampu bersatu dalam keberagaman yang dimiliki masing-masing pribadi, dan tidak menganggapnya sebagai suatu hambatan. Ini jugalah yang membedakan negara berkembang yang tidak maju-maju dan negara maju yang semakin berkembang.

Mengembalikan Jati Diri

Banyak yang berpendapat bahwa masa remaja adalah masa bagi seseorang untuk mencari jati dirinya. Maka remaja masih sensitif terhadap berbagai pengaruh yang masuk, termasuk pengaruh buruk. Mengingat bahwa remaja pada umumnya menghabiskan sebagian waktunya di sekolah, maka sekolah ikut menentukan proses formatio pelajar. Berbagai pengaruh dan ajaran yang ada di sekolah bisa dilahap mentah-mentah. Jika itu baik, maka terciptalah manusia pintar nan cerdas. Namun jika itu buruk, maka terciptalah sampah. Kemungkinan seperti itu sangat besar terjadi karena frekuensi masuknya begitu sering dan terjadi setiap hari.

Tidak ada yang bisa disalahkan karena adanya sampah ini. Sistem pendidikan kita pun tidak salah dan sudah baik. Masalah yang dihadapi kini lebih kepada struktur persekolahan kita. Sekolah dengan tambahan mata pelajaran kepribadian dan sejenisnya masih sulit ditemukan di negeri ini. Padahal sekolah adalah tempat di mana manusia ditempa untuk menjadi manusia yang bermutu dan berguna di masa mendatang. Seharusnya kita bisa memanfaatkan peranan sekolah sebagai pembentukan jati diri yang ke-2 setelah keluarga.

Peluang yang tersedia terbuka lebar, tak hanya datang sekali. Kita tahu dan sadar bahwa kata “belajar” ada dalam segala unsur hidup manusia. Manusia menghabiskan lebih dari seperempat hidupnya untuk sekolah. Sementara orang bijak mengatakan bahwa manusia selalu belajar kapan pun dan di mana pun. Tak bisa dipungkiri bahwa sekolah memiliki peranan besar dalam proses formatio seseorang. Peranan tersebut menimbulkan pengaruh yang bisa mengubah pribadi seseorang secara signifikan. Masalahnya, sekolah di negeri ini justru dinilai banyak memberi pengaruh negatif.

Satu hal yang perlu diingat dan diperhatikan: Hidup tak cukup hanya dengan pintar (IQ), tapi juga membutuhkan kecerdasan emosi (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), dsb. Kecerdasan-kecerdasan itulah yang akan membantu manusia dalam menggunakan kepintaran yang dimiliki secara bijaksana. Maka jangan lupakan betapa pentingnya pelajaran kepribadian mengingat besarnya pengaruh sekolah terhadap proses formatio. Dan hendaknya dalam setiap elemen dan tingkatan sekolah diadakan pelajaran yang sifatnya membantu membentuk kepribadian dan jati diri pelajar.

Selain itu, perlu adanya pengubahan paradigma masyarakat tentang Sekolah Unggulan. Mereka kebanyakan hanya menerima gold saja, alias orang-orang yang memang memiliki kemampuan lebih. Sedangkan garbage? No! Apa jasa yang didapat jika mendidik orang yang sudah mampu? Seperti mengobati orang yang sudah sehat..apa jasanya? Suatu sekolah baru bisa dikatakan hebat dan bermutu jika garbage in, but gold out.

Seharusnya kita berpikir, bagaimana cara untuk mengembalikan atau membentuk kembali jati diri generasi muda Indonesia. Mengapa? Karena Indonesia membutuhkan manusia-manusia yang berkompeten, mampu, bersaing, namun juga berkepribadian unggul, tangguh, dan pantang menyerah. Namun kebutuhan tersebut belum terpenuhi akibat sistem pendidikan dan persekolahan yang masih morat-marit.

Saatnya untuk bangkit dari keterpurukan. Bangun kembali jati diri bangsa lewat pembangunan jati diri kaum muda. Jadikan generasi muda negeri ini menjadi pribadi yang lebih unggul dari sebelumnya. Maka jangan hanya mengutamakan intelektual saja, tapi juga kecerdasan yang lain. Dan suatu lembaga pendidikan hendaknya jangan hanya mementingkan intelektualitas dan prestasi belaka, melainkan juga kepribadian dan jati siri seseorang. Maka terbentuklah jati diri manusia Indonesia yang benar-benar unggul dan siap membawa bangsa ini menatap masa depan yang cerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar