Senin, 01 Maret 2010

Tentang Daku

Aku datang ke dunia disambut tangis haru dan sukacita kedua orangtuaku. 26 November 1991, aku menyongsong dunia dengan tangisan. Dua bulan kemudian aku menjadi anak Allah dan bergabung dalam persekutuan umat beriman, dengan berlindung pada Santo Conrad. Dan dengan sedikit pengawuran, terangkailah sebuah nama yang “indah” untukku: Conrad Ekaristianto.

Aku merasakan indahnya jadi anak tunggal, sekalipun hanya selama tiga tahun. Namun selama itu aku benar-benar disayang dan dimanja. Mereka jugalah yang pertama kali memperkenalkanku dengan Yesus dan segala bentuk doa-doa dasar Gereja. Budaya Jawa yang kental dalam diri bapak juga ikut ditularkan padaku sedari kecil, walaupun akhirnya memudar ketika memasuki masa sekolah.

Memasuki usia sekolah aku dimasukan ke perguruan Katolik: Pius. Mulai dari jenjang TK hingga SMP aku berada di bawah naungan perguruan Pius. Keputusan ini berpengaruh sangat besar dalam proses pembentukan jati diriku. Di sanalah masa-masa awal hidupku banyak kuhabiskan bersama dengan teman-teman, juga ibu dan adikku. Maklum, ibu adalah guru di perguruan itu, dan adikku pun kelak turut menyusulku masuk ke perguruan itu.

Hampir bersamaan dengan usia sekolahku, datanglah seorang anak ke dunia yang semakin menambah kebahagiaan dalam keluarga kecilku. Nama anak itu: Petrus Orseola Rosarianto. Semakin jauh waktu berjalan, keadaan juga turut berubah. Aku yang belum dewasa dan egois, terbiasa dengan kasih sayang yang melimpah dari orangtua, tidak terima dengan perbedaan perlakuan orangtua terhadap adikku. Aku belum tahu, bahwa seorang pendatang baru di dunia butuh perhatian lebih untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kerasnya dunia. Dari sinilah muncul benih-benih kebencianku pada sang adik.

Benih-benih itu tumbuh dengan subur seiring dengan terus bertambah besarnya kami. Saat-saat transformasi diriku menjadi seorang remaja seakan dipenuhi dengan bara kebencian pada sang adik. Saat itu aku belum cukup dewasa untuk bisa memahami situasi. Aku merasa menjadi penjahat di dalam rumahku sendiri. Setiap ada sesuatu yang salah dan tidak baik, aku hampir selalu disalahkan, apalagi jika itu berkaitan langsung dengan sang adik. Belakangan aku menyadari bahwa dari sinilah luka batin yang turut membentuk jati diriku berasal.

Aku merasa lebih banyak dihukum daripada adikku dalam berbagai hal. Hukuman itu bermacam-macam, kebanyakan berupa hukuman secara fisik. Namun bagiku hukuman psikis jauh lebih menyakitkan daripada hukuman fisik. Aku didiamkan selama beberapa waktu, meskipun ibu tetap mencoba untuk bersikap seperti biasa. Aku ingin protes dan berontak, bahwa aku tidak salah dalam perkara itu. Namun sikap cuek yang diterapkan bapak benar-benar menyiksaku. Belakangan ini aku sadar, bahwa dari situlah sikap diam dan menyimpan masalah dalam hati yang ada dalam diriku berasal. Itu jugalah yang membuatku takut untuk hidup sendiri, takut jika suatu saat orang-orang akan pergi meninggalkanku. Karena itulah, aku selalu berhati-hati dalam menjalin relasi dengan semua orang.

Tepat beberapa saat sebelum menginjak masa remaja, datanglah seorang anggota baru dalam keluarga kecilku. Nama anak itu: Yohana Baptista Adventianti. Kehadiran seorang anggota baru yang adalah perempuan semakin menambah ramai keluargaku. Kelak dia akan menemaniku di saat aku senang maupun susah dengan segala kepolosan dan kejujuran seorang anak kecil. Jadilah hidupku semakin berwarna.

Memasuki masa remaja, yang ditandai dengan statusku sebagai penghuni baru bangku SMP, mulai muncul perasaan yang aneh dan mengganjal dalam hatiku. Ternyata aku mulai tertarik dengan beda jenisku: perempuan. Perasaan tertarik itu muncul hampir bersamaan dengan perasaan yang juga aneh, yaitu untuk menjadi seorang imam. Dua perasaan yang terasa aneh dan asing itu mewarnai hari-hari remajaku. Hebatnya (entah itu hebat atau tidak), dua gejolak itu berkembang bersamaan. Di satu sisi, keinginanku untuk menjadi seorang imam semakin besar. Di sisi lain, hubunganku dengan para bidadari dunia juga berkembang positif, sekalipun aku tak ”berusaha” sekalipun. Sekalipun demikian, aku belum pernah berpacaran. Aku belum merasa yakin atas diriku sendiri.

Semakin lama, dua perasaan itu semakin mewarnai hidupku sehari-hari. Namun dengan penuh keberanian dan kenekadan, aku memilih salah satu, yang kuanggap paling dominan yang ditandai dengan masuknya aku seminari. Sejak saat itu, hidupku berubah drastis. Aku menjadi lebih dekat dengan keluarga. Anehnya, semakin tinggi tingkatku di seminari, semakin luas jaringan relasi dengan para bidadari. Selain itu, aku juga dikenalkan secara lebih mendalam dengan Yesus Kristus. Aku baru merasa kenal Dia sejak hidup di seminari.

Hidupku terus berjalan dan tergabung dengan komunitas yang terdiri dari 57 ”orang gila” yang berperasaan sama denganku. Dalam perkembangannya, jumlah angka itu menyusut, menjadi 43 ”orang gila”. Aku semakin menemukan jati diriku bersama saudara-saudaraku itu. Semakin lama, semakin jelaslah kehendak Tuhan atas diriku. Hidupku terus kuolah dalam nama Yesus dengan dibimbing oleh para staf, dan juga orang-orang yang telah mewarnai hidupku selama ini.

Kini, saat ini, 17 tahun semenjak kedatanganku di dunia, aku telah berubah drastis. Aku mengalami perkembangan dan perubahan hidup yang sangat pesat, terutama setelah berada di seminari. Jati diriku telah terbentuk sedemikian rupa, yang akan menemaniku dalam mengarungi dunia ini. Berdasar dari berbagai hal tersebut, aku telah memilih cintaku. Aku telah memilih jalan yang terbaik bagiku untuk sampai ke tujuanku hadir di dunia ini. Aku bersyukur telah diciptakan dan mengalami hidup yang sungguh luar biasa. Segala pengalaman, baik itu baik maupun buruk, telah membentuk diriku menjadi sedemikian rupa. Tak ada yang patut disesali, karena memang tak ada sesuatu pun yang salah.

Sejarah hidupku akan terus berlanjut dan semoga akan terus penuh dengan warna-warni kehidupan, seperti layaknya grafiti di dinding-dinding. Hidupku masih panjang, masa depanku masih terbentang luas dan cerah di depan sana. Dengan berbekal apa yang telah kudapat selama ini, aku akan mengarungi dunia luas. Dunia telah siap menyambutku, dan aku pun akan menyambutnya dengan sukacita. Lihatlah, akan kulakukan sesuatu untuk merubah dunia, setidak-tidaknya duniaku sendiri. Akan kulakukan!

”Bagi dunia, mungkin kamu hanyalah seseorang, tapi bagi seseorang, kamulah dunianya”

Mertojoedan, 10 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar